KETIK, SURABAYA – Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya melakukan program keadilan restoratif atau Restorative Justice (RJ) dengan menyerahkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) terhadap 9 perkara pidana umum (Pidum). Dengan adanya penambahan ini maka Kejari Surabaya sudah melakukan RJ sebanyak 28 Pidum selama periode Januari hingga 18 April 2023.
"Penyerahan SKPP ini terdiri dari 3 (tiga) perkara pencurian, 4 (empat) perkara penganiayaan dan 2 (dua) perkara penipuan atau penggelapan," kata Kasi Pidum Kejari Surabaya, Ali Prakoso, Selasa (18/4/2023).
Ali menjelaskan, 3 perkara pencurian ini masing-masing atas nama tersangka Saruji Bin H. Sukri, Muhammad Rhazes Isyraqi Bin Ferdy Kurniawan dan Rohman Bin Mat Sahi. Sedangkan 4 perkara penganiayaan ini atas nama tersangka Tri Loko Werdhiningsih Binti Soejadi, Franky Bin Suratman, Simon Efendi dan Rahmatullah Setia Budi Bin Muh. Hariadi.
Selanjutnya, kata Ali, 2 perkara penipuan atau penggelapan dengan tersangka atas nama Indri Purniawan Bin Alm Sujito dan Sugiono Bin Kambali. "Sebelum penyerahan SKPP, penuntut umum selaku fasilitator telah melaksanakan musyawarah atau mediasi di beberapa rumah RJ yang ada di Kota Surabaya," jelasnya.
Bahkan, sambung Ali, mediasi ini melibatkan tersangka beserta keluarganya, korban beserta keluarganya dan tokoh masyarakat. Dari hasil mediasi tersebut, baik korban, tersangka dan adanya dukungan dari tokoh masyarakat akhirnya sepakat untuk berdamai dan menyelesaikan di luar persidangan.
"Dari 28 perkara yang dilakukan RJ, pada minggu ini pun telah dilakukan upaya damai (mediasi) sebanyak 3 (tiga) perkara. Selanjutnya akan dilaksanakan ekpose kepada pimpinan setelah Lebaran," bebernya.
Ditambahkannya, keadilan restoratif ini menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan serta kepentingan korban maupun pelaku tindak pidana. Diman hal itu tidak berorientasi pada pembalasan serta sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan pidana.
Ditegaskannya, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini, hanya berlaku satu kali saja. Sehingga pengulangan tindak pidana atau pelaku yang sudah pernah dihukum tidak dapat dihentikan perkaranya dengan mekanisme RJ.
"Kami berharap dengan dihentikannya perkara pidana melalui RJ, tersangka dapat bertaubat dan dapat menjalani kehidupan bermasyarakat tanpa adanya label atau stigmatisasi sebagai terpidana," pungkasnya. (*)