KETIK, JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya membatalkan pengesahan revisi Undang-undang (RUU) Pilkada usai Pimpinan Dewan mencermati perkembangan maraknya aksi unjuk rasa di Gedung DPR/MPR dan di berbagai daerah menolak pengesahan RUU tersebut.
DPR dan pemerintah rencananya akan melakukan pengambilan keputusan tingkat II pengesahan RUU Pilkada pada Kamis (22/8/2024) pagi dalam Rapat Paripurna.
Namun, Rapat Paripurna tersebut, tidak kuorum meski sempat di skors selama 30 menit. Rapat Paripurna hanya dihadiri 89 anggota DPR dari 560 anggota Dewan.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selalu pimpinan rapat akhirnya menunda pengesahan RUU Pilkada hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Dalam Rapat Paripurna itu, Dasco didampingi Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel dan Lodewijk F Paulus, sementara Ketua DPR Puan Maharani dan Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar tidak hadir.
Dasco menegaskan, revisi UU Pilkada tidak disahkan di rapat paripurna hari ini. Pendaftaran di KPU, menurut dia, menggunakan hasil judicial review (JR) UU Pilkada yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora Indonesia.
"Dengan tidak disahkannya revisi UU Pilkada pada tanggal 22 Agustus hari ini, maka pada saat pendaftaran pada tanggal 27 Agustus adalah hasil JR MK yang diajukan oleh Partai Buruh dan Gelora," ujar Dasco kepada wartawan, Kamis (22/8/2024) sore.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi atau Awiek menyampaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai aturan pilkada terbaru dapat dilaksanakan. Pelaksanaannya bisa tanpa diikuti produk undang-undang (UU).
"Ada kan beberapa keputusan (MK yang tanpa ditindaklanjuti UU), preseden gitu, ada. Tetapi memang idealnya semua keputusan MK itu harus diperbarui dengan norma," kata Awiek.
Awiek mengatakan ada beberapa putusan MK yang masih perlu ditindaklanjuti dengan perubahan UU. Namun, lanjut dia, sejumlah rencana revisi UU itu belum terlaksana.
"Kalau kita hitung di Baleg di DPR, itu sudah banyak tabungan keputusan MK yang harus ditindaklanjuti oleh undang-undang. Tetapi itu belum bisa terlaksana karena mungkin waktu yang terbatas, terus kemudian prioritas juga," jelas dia.
"Tapi memang idealnya harus ditindaklanjuti oleh undang-undang," imbuh politisi PPP asal Madura ini.
Awiek menegaskan belum ada rencana pengesahan revisi UU Pilkada sampai saat ini. Dengan demikian, aturan yang diikuti berdasarkan putusan MK dan UU Pilkada yang telah ada.
"Jadi kami tegaskan, sampai saat ini tidak ada undang-undang baru. Dan ketika tidak ada undang-undang baru, maka yang berlaku adalah undang-undang lama dan keputusan MK," ujarnya.
Sebelumnya, pada Selasa (21/8/2024) malam, Baleg DPR bersama pemerintah yang diwakili Mendagri Tito Karnavian dan Menkumham Supratman Andi Aqtas, serta DPD RI melakukan pengambilan keputusan tingkat I revisi UU Pilkada dibawa ke Rapat Paripurna.
Hal itu dilakukan setelah Baleg mendengar pandangan fraksi-fraksi yang menyepakati pengesahan UU Pilkada, kecuali PDIP pada Kamis (21/8/2024).
Pembahasan RUU Pilkada dilakukan dalam waktu kurang dari tujuh jam. Baleg beberapa kali mengabaikan interupsi dari PDIP.
Pembahasan revisi UU Pilkada dilakukan sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah syarat pencalonan pilkada melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024. Namun, DPR tak mengakomodasi keseluruhan putusan itu.
Sementara, MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada. MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD pada Selasa (20/8/2024).
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional.
MK mengatakan esensi pasal tersebut sama dengan penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU 32/2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK sebelumnya. MK mengatakan pembentuk UU malah memasukkan lagi norma yang telah dinyatakan inkonstitusional dalam pasal UU Pilkada.
MK kemudian menyebutkan inkonstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada itu berdampak pada pasal lain, yakni Pasal 40 ayat (1). MK pun mengubah pasal tersebut.
Adapun isi pasal 40 ayat (1) UU Pilkada sebelum diubah ialah:
Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.
MK pun mengabulkan sebagian gugatan. Berikut ini amar putusan MK yang mengubah isi Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada:
Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:
a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut
b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut
c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut
d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut
Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota:
a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250 ribu jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% di kabupaten/kota tersebut
b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250 ribu sampai 500 ribu jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di kabupaten/kota tersebut
c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500 ribu sampai 1 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% di kabupaten/kota tersebut
d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di kabupaten/kota tersebut. (*)