KETIK, MALANG – Dalam upaya menyudahi rasisme, Antropologi menawarkan pemahaman multikultural yang dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Keilmuan ini menjelaskan bahwa realita di masyarakat tidaklah tunggal. Masyarakat harus memahami bahwa terdapat individu selain dirinya sendiri yang memiliki kesadaran yang berbeda.
"Realita itu serba multi, tidak ada realita yang tunggal, dan masyarakat perlu tahu itu. Tak hanya dalam konteks kedaerahan, antar individu pun ada persoalan multikultur," jelas Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel selaku Ketua Departemen Seni dan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB), Sabtu (15/7/2023).
Masyarakat sebenarnya telah dihadapkan dengan pembelajaran multikultur dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut harus menjadi peluang untuk menyadari bahwa tidak ada satu individu pun yang seragam. Tidak hanya dalam konteks kedaerahan, antar individu pun memiliki persoalan multikultur.
"Pembelajaran di masyarakat adalah pembelajaran tanpa guru, tanpa kelas. Masyarakat umum belajar dalam kehidupan sehari-hari bahwa tidak ada yang seragam. Pembelajaran itu perlu terjadi dengan adanya perjumpaan dengan yang lain. Kalau kita menolak berarti tidak ada ruang pembelajaran," lanjutnya.
Melalui pembelajaran multikultur, masyarakat harus bersedia terbuka dengan seseorang yang berbeda dengan dirinya. Perjumpaan dua atau lebih individu yang berbeda, dan siap menerima perbedaan tersebut akan membentuk sebuah harmoni dalam kehidupan.
"Titik temunya adalah kita berjumpa dan kita menerima bahwa kita berbeda dengan mereka. Kita siap menerima, kita siap berdiskusi, dan kita siap menerima bahwa mereka seperti itu. Harmoni itu tidak berarti harus sama, harus berbeda, tetapi tetap dinikmati perbedaan itu," tegasnya.
Kendati demikian, Dr. Hipo mengakui beberapa orang bisa saja enggan berbaur. Terlebih jika seseorang atau kelompok tertentu telah mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Justru hal tersebutlah yang menjadi bagian dari proses pembelajaran.
Ilustrasi multikulturalisme (foto: freepik)
"Dalam konteks pembelajaran, kita harus menembus batas-batas itu. Antropologi itu ilmu yang ingin mengajak orang untuk tahu tentang yang lain, tahu tentang sesuatu yang dianggap aneh dan tidak lazim. Persoalannya, orang itu mau atau tidak," katanya.
Dosen Antropologi tersebut beranggapan bahwa realita kehidupan di masyarakat telah menghadapkan mereka pada pembelajaran multikultural. Bahwa untuk menjadi dewasa, masyarakat perlu terbiasa dalam perjumpaan dan menembus batas-batas perbedaan.
"Pembelajaran bisa terjadi karena adanya perjumpaan dengan yang lain. Rasisme yang akut adalah rasisme yang lahir dari kondisi semacam ini. Ketika kita tertutup dan menolak berjumpa dengan kelompok yang berbeda dengan kita," lanjutnya. (*)