KETIK, JAKARTA – Presiden Joko Widodo secara terang-terangan mengatakan akan ikut 'cawe-cawe' dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
Analis Politik Sekaligus CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai pernyataan ini telah keluar dari norma dan tradisi demokrasi yang sehat. Di mana seorang presiden seharusnya tidak terlibat dan melibatkan diri secara langsung dalam menentukan siapa penerusnya.
Menurut Pangi, ikut terlibat dan bahkan menyatakan secara terbuka tidak akan netral dalam rangkaian proses Pemilu 2024 adalah pernyataan yang tidak lazim dalam negara yang demokratis, walaupun dibungkus dengan alasan demi 'bangsa dan negara', keberlanjutan pembangunan, stabilitas politik dan segudang alasan lainnya.
"Cawe-cawe dalam tanda kutip, presiden dalam menentukan calon penerusnya dapat menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan terhadap proses politik yang lebih luas," kata Pangi, Minggu (4/6/2023).
Oleh karena itu, penting untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan, lanjut Pangi, sangat layak skeptis terhadap pernyataan ini, jargon “demi bangsa dan negara” atau mengatasnamakan rakyat seringkali digunakan untuk menutupi agenda dan kepentingan terselubung demi kepentingan pribadi dan golongan/kelompok tertentu.
"Alih-alih demi kepentingan 'bangsa dan negara', Jokowi lebih ingin melindungi kepentingan pribadi dan kelompoknya, mempertahankan pengaruh politiknya, imunitas hukum dari kemungkinan atas kebijakan yang bermasalah ditemukan di kemudian hari," ujarnya.
Terdapat dampak negatif yang harus dipertimbangkan secara serius atas campur tangan Presiden Joko Widodo dalam menentukan penerusnya pada Pilpres 2024.
Demikian ungkap Pangi. Pertama adalah netralitas institusi. Campur tangan Jokowi dinilai dapat mengaburkan garis pemisah antara kekuasaan eksekutif dan lembaga negara lainnya.
Pemerintahan yang seharusnya netral dalam memfasilitasi pemilihan dan menjamin proses demokratis menjadi terlihat tidak objektif.
"Hal ini dapat merusak integritas lembaga negara, menciptakan kesan bahwa keputusan politik dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau partisan," kata dia.
Kedua adalah pengurangan pluralitas dan partisipasi. Pangi menegaskan, campur tangan Jokowi dalam menentukan penerusnya bisa mengurangi pluralitas politik dan partisipasi warga negara.
Karena dalam demokrasi yang sehat, rakyat seharusnya memiliki kebebasan untuk memilih calon presiden sesuai dengan preferensi mereka.
Namun, jika presiden saat ini memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan calon, hal itu dapat membatasi pilihan politik warga negara atas munculnya kandidat potensial dan merampas hak mereka untuk terlibat secara aktif dalam proses politik.
Ketiga, potensi kekuasaan berlebihan. Campur tangan Jokowi dapat menimbulkan kekhawatiran tentang akumulasi kekuasaan yang berlebihan.
Padahal dalam demokrasi, penting untuk memastikan adanya pemisahan kekuasaan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
"Jika presiden terlibat secara aktif dalam menentukan calon penerusnya, hal itu dapat menciptakan ‘preseden’ yang berbahaya di mana presiden memiliki kendali penuh terhadap proses politik dan pemilihan," tandasnya.
Keempat adalah kehilangan kepercayaan publik. Campur tangan Jokowi dapat merusak kepercayaan publik (distrust) terhadap proses pemilihan dan integritas lembaga-lembaga terkait.
Jika masyarakat merasa bahwa proses pemilihan tidak adil atau terdistorsi karena campur tangan presiden, maka mereka dapat kehilangan kepercayaan pada sistem politik dan pemimpin yang dipilih.
"Ini dapat menghasilkan ketidakstabilan sosial dan politik, serta mengurangi legitimasi pemerintah yang akan datang," ucap Pangi.
Kelima, pembatasan inovasi politik. Dengan campur tangan presiden dalam menentukan penerusnya, ada risiko terjadinya stagnasi politik. Calon-calon yang mungkin memiliki visi baru, gagasan inovatif, atau perspektif yang berbeda mungkin akan terhalang oleh pengaruh presiden saat ini. Hal ini dapat menghambat perkembangan demokrasi dan mencegah perubahan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang terus berubah dan dinamis.
Presiden Jokowi 'cawe-cawe', juga tetap menyimpan masalah baru. Pangi melihat ada potensi abuse of power, presiden masih punya kendali total terhadap infrastruktur dan suprastruktur pemilu 2024.
"Cara menghentikan itu semua, presiden harus netral dan cuti. Kita Indonesia masih membutuhkan kekuasaan presiden dan negara yang netral , sebab sistem Pemilu kita masih lemah, yang bisa berpotensi tergelincir pada pemilu partisan. Terus terang kita ingin trayek pemilu yang adil, terbuka dan demokratis," terangnya.
Presiden 'cawe-cawe', lanjutnya, dapat menurunkan wibawa. Muncul citra menjadi politisi makelar, sementara presiden negarawan naik kelas bagaimana berfikir keras dan fokus menjaga Pemilu berjalan sukses, equal dan bermartabat.
"Presiden bilang akan 'cawe-cawe' untuk kepentingan nasional bukan kepentingan pribadi, justru kalau presiden tidak cawe-cawe itu justru jauh lebih baik untuk kepentingan bangsa, agar tidak terjadi chaos politik yang berujung dead lock akibat kelakuan cawe-cawe presiden yang partisan, yang membuat lapangan pemilu tidak datar," tuturnya.
Begitu sebaliknya. Presiden yang mendikte dan mengorkestrasi keterlibatan menjadi presiden partisan, menurunkan levelnya menjadi milik kelompok, golongan tertentu, maka hakikatnya itu bukanlah demi kepentingan politik kebangsaan.
Demokrasi yang sehat membutuhkan proses yang terbuka, adil, dan transparan. Partisipasi langsung presiden dalam menentukan calon penerusnya juga dapat menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan terhadap proses politik yang lebih luas.
"Penting untuk diingat bahwa setiap keputusan yang diambil haruslah didasarkan pada pertimbangan yang cermat dan komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip demokrasi berkeadilan dan terbuka," ucap Analis Politik Sekaligus CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago.(*)