KETIK, SURABAYA – Sebentar lagi masyarakat Indonesia akan mengikuti pemilihan kepala daerah atau yang biasa disebut Pilkada pada 27 November 2024 mendatang. Momen ini menjadi ajang kontestasi bagi para calon gubernur, bupati, wali kota, serta pasangan wakil mereka.
Akan tetapi khusus untuk Provinsi Jawa Timur, Pilkada kali ini bisa dibilang cukup unik dimana 3 kandidat calon gubernur diisi oleh para tokoh perempuan. Mereka adalah Khofifah Indar Parawansa, Tri Rismaharini, dan Luluk Nur Hamidah.
Dosen Ilmu Politik Fisip Unair, Febby Risti Widjayanto mengatakan keberadaan tokoh perempuan di Pilkada Jatim kali ini merupakan wujud perkembangan positif demokrasi di Jawa Timur.
Selain itu, peningkatan keterwakilan perempuan di Pilkada Jatim disebabkan juga oleh meningkatnya Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi di Jatim.
IPG Provinsi Jatim pada tahun 2022 mencatatkan nilai 92,08 sementara angka nasional berada di 91,63. Tingginya tren IPG ini turut menunjukkan peningkatan aspirasi yang bermuara menjadi partisipasi politik perempuan, baik aktif maupun pasif.
"Artinya, peranan perempuan untuk berdaya secara ekonomi mendorong kemunculan kelas menengah yang memiliki aspirasinya sendiri terhadap perpolitikan daerah,” jelas Febby, Rabu 18 September 2024.
Faktor lainnya adalah peningkatan partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi. Secara nasional, Angka Partisipasi Kasar (APK) perempuan dalam pendidikan tinggi lebih besar, yakni 33,87 persen dibandingkan dengan laki-laki yang berada di angka 29,12 persen. Hal ini menandakan jumlah perempuan yang memiliki kualifikasi untuk jabatan publik juga semakin banyak.
"Kontestasi tiga srikandi Jatim menunjukkan bahwa perempuan memiliki kesempatan yang setara untuk ikut serta dalam kontestasi jabatan publik," tambahnya.
Meski begitu, walaupun hadirnya tokoh perempuan di Pilkada Jatim merupakan perubahan yang positif, akan tetapi bukan berarti tidak ada tantangan yang menanti. Terdapat 3 tantangan utama yang menanti yakni sumber daya material, stigma secara kultural, dan beban ganda.
Febby menjelaskan, pemimpin perempuan seringkali terkendala oleh sumber daya finansial. Mereka memiliki tanggung jawab untuk berdaya secara ekonomi dan memanfaatkan modal sosial yang dimiliki.
Di sisi lain, stigma yang meragukan kemampuan kepemimpinan perempuan dan beban ganda antara pekerjaan rumah tangga dan karir turut menjadi tantangan tersendiri.
“Langkah untuk mengatasi ini adalah pembagian peran yang adil di dalam rumah tangga serta memperjuangkan kebijakan yang lebih pro pada kesetaraan gender," pungkasnya.(*)