KETIK, JAKARTA – Pengamat Geopolitik Internasional Tulus Sugiharto kembali mengajak Gen Z meretas sejarah. Generasi kelahiran mulai 1997 tersebut dinilai perlu memahami makna penting rangkaian perjalanan bangsa agar tak tercerabut dari akarnya.
Pasalnya, ia menguak sebuah rekayasa konstruksi di tengah disrupsi teknologi informasi. Histori perang Baghdad hingga peran media dalam membentuk hiperealitas dewasa ini. Terutama di Tanah Air.
Saat suhu politik kian memanas dan ambisi kekuasaan para pejabat publik tak terkendali. Korupsi menjadi makanan sementara rakyat 'kelaparan' akan kesejahteraan. Namun, fenomena atas nama pembangunan justru menjadi tameng dari segala ketamakan. Klaim prestasi tapi penuh kebohongan. Pejabat berlomba-lomba merakyat jelang pemilihan.
Tulus mengungkapkan, efek hiperealitas ini juga ada pada dunia politik. Realitas kehidupan seseorang kemudian dikonstruksi direkayasa) untuk menciptakan realitas baru yang tidak berbeda dengan keadaan sebenarnya.
Misal, kata Tulus, seseorang bisa berubah dari tidak cinta bola menjadi penggemar fanatik bola, dari tidak suka masak tiba-tiba jadi koki, tidak suka K Pop tiba-tiba mengaku sebagai penggemar BTS atau BlackPink.
Begitu pula dalam konteks politik. Seorang tokoh tiba-tiba berbicara ekonomi kerakyatan, berbicara keterbukaan dan demokrasi, pro pada pekerja dan buruh.
"Apapun lah mulai dari beretorika manis sampai joget-joget yang penting bisa masuk TikTok. Hasil konstruksi ini akan diproduksi secara masif dan akan dirangsang untuk masuk ke ruang pikiran dan ruang pribadi terutama Gen Z," ungkap Tulus, Minggu (4/6/2023).
Tak terasa tahun politik tiba. Pemilu 2024 tinggal selangkah lagi. Gen Z menyumbang angka voters sangat besar. Maka, sangat disayangkan jika generasi ini tidak memiliki pengetahuan tentang latar belakang para calon pemimpin.
Agar tidak salah memilih, maka perlu untuk lebih tahu politisi atau sepak terjang orang tersebut. Tulus memberikan saran jitu.
Pertama, cek kontak media sosial mereka. Jika sulit bertemu dan berbicara secara langsung, minta untuk bertemu online, menggunakan teknologi live streaming.
"Ayo kritis, jangan sekedar memantau media sosialnya yang sudah dikonstruksi atau direkayasa oleh para BuzzerRP dan SurePay," ajak Tulus.
Tapi, tidak menutup kemungkinan ada politisi yang juga ekonom mudah untuk dikontak dan diajak bicara. Dia adalah Tokoh Nasional Dr Rizal Ramli.
"Buat group lalu kontak yang bersangkutan, bilang saja, mau tahu bagaimana masa depan saya di negara tercinta ini 5, 10 bahkan 20 tahun kedepan. Dear Gen Z, coba kontak Bung Rizal Ramli (RR) ke Twitter @RamliRizal kemudian gunakan teknologi media baru yang kini semangkin canggih, berkembang pesat, jauh di atas teknologi flyaway voice yang digunakan CNN tahun 1991 untuk bersua dengannya," kata Tulus.
Tulus mengatakan, Rizal Ramli bukan penganut hiperealitas, hidupnya sederhana, tidak mencerminkan pernah jadi orang penting.
"Dan kalau menjawab apa adanya tapi out of the box, tapi kasih solusi untuk masa depan kamu," tuturnya.
Hiperealitas Media
Soal hiperealitas, Tulus juga mengurai fakta tentang perang Baghdad. Pada 2 Agustus 1990, Irak menginvasi Kuwait dan jadi headline berita utama atau istilah sekarang jadi viral.
"Gen Z, waktu peristiwa ini berlangsung pasti belum lahir, karena generasi ini dihitung yang lahir sejak tahun 1997. Tapi mungkin peristiwa ini ada hubungannya dengan kehidupan mereka sekarang," tandasnya.
Banyak media yang kemudian datang ke Irak untuk meliput peristiwa itu, salah satunya adalah CNN Atlanta Amerika.
CNN dianggap media yang pertama kali menyiarkan berita selama 24 jam, kurang tiga minggu dari invasi Irak.
Lantai 9 hotel Al Rasheed di kota Baghdad menjadi markas CNN hingga kemudian menjadi satu-satunya saksi live serangan udara Amerika ke Irak 13 Februari 1991. Peristiwa ini kemudian dipopulerkan oleh CNN dengan nama Live from Baghdad - Desert Storm Operation.
Ada tiga orang jurnalis CNN yang live saat peristiwa penyerangan itu berlangsung, mereka adalah Bernard Shaw, John Holliman dan Peter Arnett.
Dua nama, Shaw dan Holliman adalah presenter berita CNN sedangkan Arnett adalah wartawan veteran perang Vietnam yang kemudian masuk CNN.
Bagaimana mereka bisa menyiarkannya secara live?
Produser CNN saat itu, Robert Wiener mendatangi kantor Kementerian Informasi Irak untuk bertemu dengan direkturnya, Naji Al Hadithi.
Wiener meminta izin pada Hadithi untuk memasang FlyAway, sebuah alat yang bisa melakukan layanan live jarak jauh.
Saat itu layanan ini baru berupa voice atau suara saja, sedangkan sekarang Gen Z menikmati layanan ini menjadi media baru dengan internet lengkap gambar dan suara yang tersaji dengan cepat dan jernih.
Saat serangan udara Amerika menghantam Baghdad, CNN melakukan live bom pertama dari pesawat F 16 Jaguar dan F-18 Hornet yang menghantam kota Baghdad.
Akibat live ini, semua saingan CNN baik itu TV, koran, radio menyerah kalah. Di Indonesia juga, saat itu. Live from Baghdad - Desert Storm Operation kemudian menjadi headline dan bahkan kemudian CNN dan media kemudian menjadikan sebuah peristiwa perang menjadi berita “hiburan”.
Ahli semiotik dari Prancis, Jean Baudrillard mengemukakan teori hiperrealitas media. Istilah hiperrealitas untuk menjelaskan adanya rekayasa makna di dalam suatu media.
Saat itu, peristiwanya adalah Desert Storm Operation. Operasi Badai Gurun berupa serangan militer, sebuah peristiwa perang, banyak korban jiwa, kehancuran infrastruktur, kerusakan ekonomi, kehilangan dan lain-lain.
"Tapi kemudian media melakukan rekayasa konstruksi atas sebuah realitas di lapangan dengan Live from Baghdad untuk konsumennya (penonton, pembaca dan pendengar)," kata Tulus.
Hiperealitas itu ia sebut juga terjadi dalam dunia politik. Realitas kehidupan seseorang kemudian dikonstruksi direkayasa) untuk menciptakan realitas baru yang tidak berbeda dengan keadaan sebenarnya.(*)