KETIK, HALMAHERA SELATAN – Kerut di wajahnya tak bisa di tampik yang menunjukkan usia yang kian menuah. Meski begitu, usia dan fisiknya yang kurus tak mematahkan semangatnya dalam mencari pundi-pundi demi melangsungkan hidup.
Tak jelas berapa umurnya. Karena ia ogah menyebut tahun berapa ia lahir ketika di soal tempat dan kapan ia lahir. Alasannya sederhana.
"Kenapa harus menghitung umur! Pasti torang (kita semua) juga mati," kata Bibi Atiyang, perempuan kuat penambang pasir asal Desa Kupal, Kecamatan Bacan Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara yang menambang pasir di seputaran pantai Desa Kupal.
Hari itu, Rabu 11 Oktober dua hari lalu, awak media ini tak sengaja memantau aktifitas Bibi Atiyang. Dengan sekop pasir yang berkarat, ia dengan perlahan menggerut pasir di dekat ombak pantai yang pecah di hadapannya.
Pelan dan dengan wajah penuh peluh, Bibi Atiyang hari itu berhasil menambang beberapa karung pasir yang harus di angkat ke tepi jalan ruas Kupal Panamabuang.
Untuk dapat mencapai target. Bibi Atiyang membutuhkan waktu 5 hari untuk mendapatkan 1 ret pasir yang di hargai sekitar Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu.
Beberapa bulan lalu, suami Bibi Atiyang meninggal karena sakit. Sebelumnya, ia harus berupaya keras menambang pasir untuk membiayai pengobatan suaminya. Ia kadang harus beristirahat selama beberapa minggu untuk mengerjakan pekerjaan yang lain selain menambang pasir.
Harapan Bibi Atiyang sederhana. Ia hanya ingin melangsungkan hidup dengan tanpa menadahkan tangan ke orang lain. Baginya, walau perlahan dan tak banyak uang yang ia hasilkan, perempuan 3 anak ini tetap bersyukur atas apa yang ia dapati.
"Palang-palang (Pelan-pelan) biar sedikit demi sedikit, tetap syukur Alhamdulillah," tutur Bibi Atiyang bersyukur.
Selain Bibi Atiyang, beberapa penambang pasir di seputar bibir pantai di Kecamatan Bacan Selatan pun tampak bersemangat. Kalau di hitung mereka berjumlah sekitar 20 sampai 30 orang yang tampak hampir setiap hari memenuhi bantaran sungai dan bibir pantai di mulai dari Desa Mandaong, Kupal dan Tuwokona.
Meski usia para penambang di sekitaran pantai tersebut tak muda lagi, mereka tetap bersemangat meski panas matahari selalu membuat kepanasan. (*)