KETIK, MALANG – Pada Hari Raya Idul Fitri, kalimat ‘Minal Aidin Wal Faidzin’ sering digunakan oleh masyarakat saat bersilaturahmi ke sanak saudara. Namun, banyak orang terjebak dalam kesalahpahaman akan esensi dari ungkapan ini. Lantas, bagaimana makna sebenarnya dari kalimat tersebut?
“Banyak yang mengira kalimat ‘Minal Aidin Wal Faidzin’ memiliki arti ‘mohon maaf lahir dan batin’. Rupanya, hal itu merupakan sesuatu yang keliru dan kerap terjadi di masyarakat Indonesia. Tetapi, ini bukanlah masalah yang besar,” ujar Gigit Mujianto, Drs., M.Si., selaku dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Gigit menjelaskan bahwa sebenarnya kalimat ‘Minal Aidin Wal Faidzin’ merupakan bentuk ekspresi suka cita dan rasa syukur. Ungkapan ini ditunjukkan setelah berhasil menjalani ibadah puasa dan menahan hawa nafsu selama bulan Ramadan.
Lebih lanjut, kalimat tersebut merupakan penggalan dari kalimat yang mengandung doa. 'Ja'alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faidzin' yang berarti semoga Allah SWT menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang kembali dan yang memperoleh kemenangan.
“Awalnya, itu adalah ucapan selamat di kalangan para sahabat Rasulullah kepada mereka yang baru pulang dari peperangan. Namun, di Indonesia kalimat tersebut mengiringi tradisi halal bihalal yang pertama kali dirintis oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I,” jelasnya.
Ia melanjutkan bahwa setelah Idul Fitri, KGPAA Mangkunegara I mengadakan pertemuan antara raja dengan para penggawa (kepala desa) dan prajurit secara serentak di balai istana untuk saling bermaafan.
Padahal, selain di Indonesia, tidak ada tradisi berjabat tangan secara massal untuk saling memaafkan setelah shalat Idul Fitri. Terlebih, sambil mengucapkan 'Minal aidzin wal faidzin’.
“Meskipun demikian, penggunaan kalimat ini dalam konteks halal bihalal bukanlah bagian dari syariat agama. Oleh karena itu, tidak jadi masalah kalau digunakan untuk menjalin silaturahmi serta sebagai ekspresi bahagia dan rasa syukur di hari yang fitri," tambah Gigit.
Namun, ia juga mengingatkan agar penggunaan kalimat tersebut tidak disalahgunakan sebagai basa-basi permintaan maaf kepada orang lain.
Menurutnya, bersilaturahmi itu harus tulus dan perlu pemahaman makna kalimat yang diucapkan. Bukan sekedar ikut-ikutan tren yang sedang berkembang.
“Jika masyarakat suka berbasa-basi daripada mengucapkan sesuatu dengan tulus, dampak panjangnya adalah lunturnya nilai-nilai kejujuran di tengah masyarakat dan pemerintahan,” ucapnya.
Menilik dari kejadian tersebut, Gigit menyebut bahwa kesalahpahaman dari penggunaan kalimat ‘Minal Aidzin Wal Faidzin’ sebagai permohonan maaf didasari karena pengaruh tradisi dan kurangnya literasi di masyarakat. Selain itu juga karena kurangnya kajian terkait ilmu agama, utamanya mengenai ber-Idul Fitri yang baik dan benar. Sehingga, kejadian ini kerap terulang.
“Ke depannya, ada baiknya untuk menjadikan media massa dan media sosial sebagai sarana berdakwah dan saling nasihat menasihati untuk kebenaran dan kesabaran. Dengan demikian, media akan memihak kebenaran dan ikut andil untuk memperbaiki keadaan masyarakat,” pungkasnya. (*)