KETIK, HALMAHERA SELATAN – Sebagai negara multikultural, Indonesia dikenal dengan kekayaan kulinernya. Di setiap daerah bisa memiliki beragam makanan khas.
Seperti kue Apam atau Apem misalnya, bisa disajikan dengan cara berbeda dan penamaan masing-masing di setiap daerah. Di Aceh misalnya, Apam sebelum di santap, terlebih dahulu di campur dengan kuah santan pisang dan nangka. Kue Apam jenis tersebut sering hadir saat bulan Ramadhan tiba dan laris di jadikan takjil oleh masyarakat di Aceh. Cara penyajian yang tidak jauh berbeda juga dikenal di masyarakat Jawa.
Di Maluku Utara khususnya di Kabupaten Halmahera Selatan -terutama di beberapa kecamatan yakni Bacan, Makian, Gane dan Obi-, panganan ini dikenal dengan nama kue Apang. Dari nama itu, kue apang sering mendapatkan penambahan nama sesuai bentuk dan rasanya.
Kue apam di Maluku Utara hanya akan bernama Apang jika bentuknya polos dan manis rasanya. Namun akan berbeda jika permukaan Kue Apang terlihat seperti terbelah. Kue Apang yang permukaannya terbelah akan di sebut Apang Polote atau Apang Pica (Apam terbelah) oleh masyarakat Maluku Utara.
Bahan yang di perlukan untuk membuat Apam ala Maluku Utara cukup sederhana dam mudah. Penikmat kue Apang di Maluku Utara cukup menggunakan tepung terigu maupun tepung beras, gula, mentega, dan santan kelapa plus ampas kelapa yang di haluskan dan ragi. Bahan-bahan ini dapat di campur secara langsung lalu kemudian di aduk hingga merata.
Cara memasaknya juga berbeda. Jika di daerah lain kue apam dikukus, maka di Maluku Utara hanya dapat di panggang. Tak butuh waktu lama untuk menanggang kue apang khas Maluku Utara. Hanya butuh 5 sampai 7 menit sudah langsung bisa di santap.
Proses pembuatan kue Apang, apam atau apem khas Halmahera Selatan. (Mursal/ Ketik.co.id )
Khusus di Pulau Bacan, Apang paling banyak di sajikan saat acara kawianan berlangsung. Ada beberapa kue lainnya seperti Panada dan Wajik. Namun Apam lebih mendominasi karena lebih banyak jumlah yang di sajikan.
Dalam suatu acara nikahan di Pulau Bacan, para undangan yang menghadiri nikahan akan di beri oleh-oleh atau bingkisan kecil berupa kue yang di kemas dengan kantong plastik. Bingkisan kue bagi para tamu undangan nikahan di Pulau Bacan, kental di sebut dengan Pakesan. Kata Pakesan sebenarnya lebih di khususkan untuk bingkisan kecil seperti nasi uduk dan nasi kuning. Namun secara umum masyarakat Bacan menyebutnya Pakesan.
Dibuat di Waktu Subuh, Jadi Perekat Silaturahmi Warga
Di Bacan, kue Apam yang disajikan saat acara perkawinan, biasanya membutuhkan tempat khusus untuk pembuatannya. Bukan karena banyaknya kue apam yang akan di buat. Tetapi karena pembuatan kue apam harus melibatkan banyak orang.
Pembuatan kue Apam bisa melibatkan 10 hingga 20 orang yang terdiri dari emak-emak. Mereka merupakan sanak keluarga ataupun tetangga dari keluarga mempelai pengantin. Selain itu, pembuatan kue Apam juga melibatkan sejumlah pria untuk mengurus bara api yang di pakai untuk memanggang.
Selain itu, kue Apam biasanya di buat pada dini hari menjelang subuh. Alasannya, agar kue apam tidak terlalu lama rentang waktunya dengan saat disantap. Sehingga saat disajikan, masih dalam kondisi segar. Sebab, biasanya acara Ijab Qabul pada pagi hari.
Tak hanya pada acara perkawinan, pada hajatan lain juga kue apam selalu menjadi salah satu pilihan. Selain bahannya mudah di dapat, apam juga dapat bertahan selama beberapa hari.
Kue apang akan menjadi “peluru” saat matang. Sebab, kue ini akan menjadi bahan untuk saling lempar dari seluruh mereka yang hadir di waktu subuh. Saling melempar dengan kue apang saat subuh di pulau Bacan di kenal dengan istilah Belo.
Tradisi yang Kian Memudar, Tergerus Zaman
Kue Apam atau Apang tidak sekedar suguhan di saat acara hajatan seperti perkawinan bagi masyarakat di Halmahera Selatan. Pembuatannya yang melibatkan banyak orang disertai canda tawa saling melempar (disebut Belo) telah menjadi tradisi silaturahmi yang khas di Provinsi Maluku Utara.
Namun seiring laju zaman, tradisi ini kian memudar. Hal ini salah satunya karena banyak masyarakat saat ini yang terbiasa memesan katering untuk acara hajatan. Hal ini disayangkan oleh sejumlah tokoh masyarakat dan adat di Halmahera Selatan. Salah satunya adalah Ketua Lembaga Aliansi Indonesia (LIA) Halmahera Selatan sekaligus Penggiat litersi sejarah dan budaya, Sarjan Taib.
Kepada media online nasional Ketik.co.id, Sarjan Taib menyebut Kue Apam bukan sekedar tradisi soal keanekaragaman makanan, tetapi juga bagaimana memaknainya sebagai sebuah warisan budaya dari leluhur.
Sejatinya menurut Sarjan, apang dan tradisi dalam membuatnya menjadi satu pandangan karakter budaya yang perlu dilestarikan di Maluku Utara.
Dalam tradisi pembuatan kue apam, terdapat bentuk cadaan yang melekat di dalamnya serta menjadi wahana menjaga tali silaturahmi bagi warga Halmahera Selatan.
Ia berharap, tradisi memanggang apang polote di waktu subuh harus tetap tumbuh subur di kalangan sejumlah etnis di Maluku Utara. Mulai dari Suku Makian, Kayoa, Bacan, Tobelo, Galela, Tidore, Ternate, dan suku Sula Sanana. (*)