KETIK, JAKARTA – Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta mengatakan Ramadan di tahun politik bisa menjadi momentum tepat bagi seluruh komponen bangsa untuk membangun koalisi rekonsiliasi.
Smua pihak diharapkan dapat membangun soliditas dan meletakkan kepentingan bangsa lebih tinggi di atas kepentingan yang lainnya.
"Saya berpikir, terlepas dari kompetisi politik kita menuju 2024, kita harus tetap meletakkan kepentingan bangsa itu lebih tinggi dari semuanya," kata Anis Matta dalam Gelora Talk bertajuk 'Ramadan 1444 H di Tahun Politik, Menggelorakan Spritualitas Bangsa', Rabu (22/3/2023).
Menurut Anis Matta, pembentukan koalisi politik yang ada sekarang mempertajam pembelahan di tengah masyarakat yang sudah ada sejak dua Pilpres terakhir. Pembelahan saat ini diperdalam dengan adanya penetapan calon presiden dan calon wakil presiden di Pemilu 2024.
Sehingga saat ini, yang diperlukan adalah membangun soliditas bersama dan mencegah ancaman disintegrasi bangsa yang semakin nyata akibat krisis global.
"Jadi puasa inikan semacam kondisi pengendalian, supaya kita semua solid dan memperkuat soliditas. Sehingga amaliyah yang paling afdal di bulan Ramadan adalah membangun koalisi rekonsiliasi," katanya.
Partai Gelora, partai nomor 7 dalam Pemilu 2024 ini menilai dengan pengkosolidasian politik nasional dalam satu format koalisi rekonsiliasi baru tersebut, diharapkan semua pihak dapat menyatu menghadapi krisis dan mencegah supaya bangsa kita tidak terjebak dalam ancaman disintegrasi bangsa.
'Musuh kita sebenarnya adalah krisis, dan krisis inilah yang mengancam kita. Banyak anomali yang terjadi sekarang, yang disanksi Rusia, tapi yang bangkrut bank-bank Amerika dan Eropa," ujar Anis Matta.
Indonesia, kata Anis Matta, sebelumnya telah menjadi korban (collateral damage) dari adanya revolusi maritim dan industri di Eropa, menyebabkan penjajahan di tanah air dimulai pada abad 15-16.
"Pada abad 15 dan 16 kita sudah mulai dijajah, itu prosesnya sangat jauh, tapi bagaimana jika krisis terjadi di tengah dunia yang sangat terintegrasi seperti sekarang, tentu dampaknya akan sangat parah," katanya.
Dampak dari krisis sekarang, menurut Anis Matta, tidak hanya soal kebangkrutan negara, tetapi juga ancaman disintegrasi bangsa. Karena itu, Anis Matta berharap aura kebajikan dan kelembutan Ramadan dapat memberikan kebaikan dalam politik.
"Ramadan itu bulan penuh berkah. Orang kitakan senangnya buka puasa bersama. Sambil buka puasa bersama, itu partai politik bisa membicarakan rekonsiliasi. Dan saya kira ini bisa menjadi amal politik kita," katanya.
Anis Matta menambahkan, Presiden Jokowi juga telah memberikan peringatan agar tetap Indonesia waspada menghadapi krisis global saat ini, meski ekonomi terlihat dalam keadaan baik-baik saja.
"Ini tunggu giliran saja, semua akan kena termasuk Indonesia. Jadi di tengah krisis ini, kita perlu menyatukan dan mengkonsolidasi para elit politik, militer, ekonomi, akademisi dan budayawan agar semua bersiap menghadapi krisis ini. Ramadan ini adalah momentum yang paling bagus untuk membuat format koalisi rekonsiliasi baru," pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H Anwar Abbas mengkritik upaya pihak-pihak tertentu yang ingin memisahkan agama dengan politik.
Padahal agama dan politik tidak bisa dipisahkan, karena konstitusi negara diatur berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa.
"Saya sampaikan, kalau agama tidak boleh dibawa dalam kehidupan politik, tentu itu jelas melanggar konstitusi dan ajaran agama. Kalau agama dianggap momok, itu sengaja dihembuskan oleh orang-orang sekuler, termasuk soal politik identitas itu," katanya.
Menurut Anwar Abbas, justru orang-orang sekuler yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politiknya. "Mereka-mereka yang sebelumnya tidak pernah pakai baju koko dan tidak pernah pakai peci hitam, tetapi begitu mendekati tahun 2024 mereka mulai pakai baju koko dan juga pakai peci hitam. Mereka ini begitu sempurna memanfaatkan agama," katanya.(*)