KETIK, PALEMBANG – Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan (Kapolda Sumsel), Irjen Andi Rian Ryacudu Djajadi mengatakan, ada 9 potensi konflik sosial yang menghantui jalannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
"Kami sudah melakukan pemetaan, khususnya Polda Sumsel, mengenai indeks potensi kerawanan Pilkada 2024," kata Rian saat Diskusi Publik "Harkamtibnas Jelang Pilkada Serentak di Sumsel 2024", Jumat, 18 Oktober 2024.
Sembilan potensi konflik sosial tersebut di antaranya pemungutan suara ulang, intervensi ASN, kerawanan daerah, dan gugatan MK.
Kemudian, potensi konflik sosial lainnya antara lain korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), unjuk rasa anarkis, penganiayaan terhadap tim sukses, isu netralitas, serta kampanye hitam atau black campaign.
Pada tahun 2024 ini, Rian menjelaskan, berdasarkan data yang dimiliki Polri, Provinsi Sumsel berada di urutan 8 sebagai provinsi paling rawan saat Pemilu dengan tingkat kerawanan sedang. Oleh karena itu, dirinya mengajak seluruh komponen untuk berkolaborasi mengawasi Pilkada.
"Dalam melakukan pengawasan ini, Polri tidak bisa sendiri. Polri berkolaborasi dengan segala komponen yang ada, seperti Bawaslu dan juga masyarakat," tutur dia.
Meski begitu, Rian menilai, indeks potensi kerawanan yang dipetakan Polda Sumsel tidak sepenuhnya menjadi ancaman.
Dia menambahkan, indeks potensi kerawanan adalah sebuah parameter yang dijadikan sebagai alat untuk mengawasi jalannya Pilkada, sehingga meminimalisasi konflik-konflik yang kemungkinan bisa terjadi.
"Indeks potensi kerawanan ini jangan dijadikan kekhawatiran. Tetapi dari kami Polri, indeks ini dijadikan sebagai alat atau tools untuk mengawasi Pilkada," jelasnya.
Di tempat yang sama, pengamat politik Sumsel, Bagindo Togar menilai, penyebab adanya konflik dalam Pilkada bukan disebabkan oleh masyarakat, tetapi pihak-pihak yang bersangkutan langsung dengan Pilkada.
"Penyebabnya ada tiga, yang pertama dari penyelenggara, kemudian partai politik, dan dari aktor politik itu sendiri," jelas Bagindo.
Konflik tersebut, lanjut Bagindo, disebabkan adanya ketimpangan sosial yang terlalu besar antara pihak-pihak yang terkait dalam Pilkada.
Ketimpangan tersebut memicu adanya pihak yang memanas-manasi, sehingga menimbulkan perseteruan yang mengatasnamakan politik.
"Terjadi social gap yang terlalu besar, yang kaya, kaya sekali. Miskin, miskin sekali, itu yang berbahaya," lanjutnya.
Bagindo justru menolak anggapan bahwa Pilkada harus dilaksanakan secara damai. Menurutnya, Pilkada bukan acara keagamaan yang harus berjalan damai.
Dia menginginkan Pilkada kali ini berjalan ramai dan terkendali. Artinya, masyarakat bisa bersuka cita mengikuti Pesta Demokrasi dengan diawasi pihak-pihak keamanan yang terkait.
"Pilkada ini seharusnya bukan damai, tapi ramai. Ramai tapi terkendali, jadi menarik. Namanya saja Pesta Demokrasi, ya harus ramai lah," tukas Bagindo.(*)