KETIK, JAKARTA – Setelah sebelumnya menyatakan petisi bersama secara offline di Ibukota Jakarta, Koalisi Rakyat Menolak Privatisasi BUMN kemarin Jumat (17/2) juga meluncurkan petisi online untuk menolak privatisasi PGE (Pertamina Geothermal Energi) beserta seluruh anak usaha terafiliasi Pertamina lainnya.
Tak tanggung-tanggung, petisi tersebut ditujukan kepada Presiden Jokowi yang dinilai sebagai figur penting yang mampu menghentikan aksi ugal-ugalan privatisasi anak usaha BUMN yang kini tengah bergulir menggelinding tanpa rintangan.
Selain Jokowi, petisi juga ditujukan kepada Ketua DPR RI, Menteri BUMN, Menteri ESDM, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Direktur & Komisaris Utama PT Pertamina, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI).
Menariknya, belum genap 2 hari petisi tersebut dilaunching ke publik tercatat sudah lebih 3100 orang yang menandatangani.
"Besarnya dukungan tandatangan ini merupakan salah satu indikasi bahwa masyarakat peduli dan mencium adanya kejanggalan serta kerugian negara pada pola-pola menjual saham emiten BUMN berkedok skema IPO (Initial Public Offering)", tutur Marwan Batubara selaku Koordinator Koalisi Rakyat Menolak Privatisasi BUMN.
Bukti 3000 orang sudah menandatangani petisi penolakan penjualan saham PGE berkedok IPO. (Foto: Tangkapan Layar)
Sebelumnya pada Kamis, 16 Februari 2023 para pekerja Pertamina beserta 25 Serikat Pekerja yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) juga telah melakukan aksi demonstrasi turun ke jalan mengerahkan 2100 orang pekerja dengan tuntutan yang sama yaitu menolak privatisasi PGE beserta anak usaha Pertamina lainnya.
Rencana privatisasi melalui skema penawaran saham perdana, Initial Public Offering (IPO) anak-anak usaha BUMN, terutama PT. Pertamina (Persero) dan PT. PLN (Persero) memang telah dinyatakan secara terbuka oleh Menteri BUMN Erick Thohir pada 20 januari 2020.
Saat ini proses IPO yang dimotori oleh Kementrian BUMN tersebut telah memasuki tahap akhir dengan melibatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI).
PT Pertamina Geothermal Energi (PGE) yang 100 persen sahamnya dimiliki Pertamina, adalah penyelenggara usaha bidang panas bumi penghasil tenaga listrik yang 100 persen dayanya dijual kepada PLN.
Kementrian BUMN rencananya akan menjual 25 persen saham PGE, yang dikatakan bertujuan untuk memperoleh dana murah, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, serta berbagai alasan lain.
Terlepas apapun alasan Pemerintah, yang pada dasarnya dapat dibuktikan merupakan alasan-alasan absurd, mengada-ada dan mengkhianati UUD 1945, Koalisi Rakyat Menolak Privatisasi BUMN menyatakan penolakan atas rencana privatisasi PGE dikarenakan beberapa alasan sbb:
Pertama, melanggar Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kedua, melanggar Pasal 3 butir (a) dan Pasal 4 ayat (1) UU Panas Bumi No.21/2014 yang memerintahkan agar eksploitasi panas bumi diselenggarakan untuk menunjang ketahanan dan kemandirian energi serta bermanfaat bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Ketiga, melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.36/2012 dan No.85/2013 yang mengamanatkan agar penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh negara harus bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan karena itu pengelolaannya harus dilakukan BUMN.
Keempat, melanggar UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, karena SDA panas bumi dan pemilik manfaatnya melalui PGE adalah Pemerintah Republik Indonesia.
Kementrian BUMN telah merekayasa pemilikan Kekayaan Negara tersebut melalui manipulasi pembentukan anak/cucu BUMN, sehingga Aset Negara dengan mudah dimiliki swasta.
Alasan penolakan kelima adalah mengurangi penerimaan negara/APBN dan keuntungan BUMN karena dilakukannya proses Unbundling, yaitu memisah-misahkan rantai bisnis Pertamina menjadi sejumlah anak-anak usaha atau subholding.
Subholding yang merugi akan menjadi beban negara atau rakyat. Sedangkan subholding yang paling menguntungkan (creme dela creme) akan dijual kepada swasta dan asing, termasuk perusahaan oligarkis. Akhirnya merekalah yang akan menikmati manfaat terbesar dari SDA milik rakyat.
Selanjutnya, alasan keenam adalah meningkatnya beban hidup rakyat akibat naiknya tarif energi sebagai dampak negatif proses unbundling pelayanan public utilities. Teori ekonomi/bisnis dinyatakan telah mengkonfirmasi dampak negatif proses unbundling rantai bisnis energi ini.
Ketujuh, karena turunnya pendapatan, akan mengurangi kemampuan BUMN/Pertamina melakukan cross-subsidy, menjalankan tugas perintisan, membangun serta menyediakan jasa dan pelayanan kepada masyarakat tidak mampu dan berada diwilayah terpencil, tertinggal dan terluar. Hal ini akan meningkatkan kesenjangan pendapatan kaya miskin dan kesejahteraan antar wilayah.
Kedelapan, privatisasi PGE dinilai akan menyediakan jalan bagi para pemilik modal, investor asing, para pengusaha oligarkis dan negara kapitalis untuk menghisap sumber-sumber kekayaan negara dan ekonomi rakyat. Bukannya menangkal, Pemerintah Indonesia malah aktif mendukung agenda penghisapan potensi penerimaan APBN dan pemiskinan rakyat dimana sejumlah oknum pejabat yang tergabung oligarki kekuasaan ikut pula berburu saham dan rente dalam proses privatisasi.
Marwan menekankan pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir bahwa IPO subholding BUMN bertujuan mencari dana murah adalah manipulasi informasi tendensius.
Menurutnya, Erick Thohir telah membohongi rakyat. Faktanya Pertamina telah memperoleh kredit bunga rendah tanpa IPO. Sejak 2011 hingga awal 2021 total obligasi Pertamina sekitar US$ 14 miliar dengan tingkat bunga (kupon) 1,4%-6,5% (weighted average: sekitar 4,60%). Nilai kupon tersebut ternyata lebih rendah dibanding kupon PGN yang telah IPO, yakni 5,125% (US$ 1,35 miliar, 5/2014).
"Karena saham negara di Pertamina/PGE masih 100%, jaminan pemerintah terhadap Pertamina otomatis melekat. Sehingga tanpa IPO, PGE justru dapat mengakses dana lebih murah. Bahkan BUMN sering memperoleh hibah atau pinjaman bunga 0%, hal yang tidak akan diperoleh oleh BUMN yang sudah go public,” kata Marwan.
Koalisi menyatakan sebagian besar masalah kinerja/GCG BUMN justru berasal dari pemerintah, seperti penempatan tim sukses, mengangkat teman sesama anggota oligarki, menunggak beban subsidi, menjadikan BUMN sebagai sapi perah, dll. Cara terbaik memperbaiki GCG BUMN adalah dengan mempertahankan status non-listed public company (NLPC).
Sebagai kesimpulan Koalisi Rakyat Menolak Privatisasi BUMN menuntut Pemerintah Indonesia terutama Presiden Jokowi dan juga DPR RI untuk segera membatalkan rencana privatisasi PGE dan juga anak-anak usaha Petamina yang lain, seperti PT Pertamina Hulu Energi (PHE), PT Pertamina International Shipping (PIS), dan seluruh afiliasi Pertamina grup lainnya melalui proses IPO maupun modus penjualan saham lainnya. (*)