KETIK, JAKARTA – Isu resesi ekonomi global tampak belum begitu berefek pada Indonesia. Hal ini terlihat dari nilai tukar rupiah yang menguat tajam terhadap dollar AS.
Pada perdagangan hari ini, Selasa (17/1/2023) nilai tukar rupiah menguat hingga ke level Rp 14.900/USD. Menguatnya rupiah ini dikarenakan berbagai sentimen positif terhadap perkembangan ekonomi Indonesia.
Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan nilai tukar yang menguat bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh negara berkembang atau emerging market lainnya.
"Pada Jumat (13/1/2023) Yen Jepang menguat, Dolar Singapura, Yuan juga menguat. Hampir semua regional menguat," tutur David
Penyebab menguatnya nilai tukar negara emerging market, karena nilai inflasi di Amerika Serikat yang turun ke level 6,5% yoy. Oleh sebab itu The Fed tidak menaikkan suku bunga acuannya.
Tidak hanya pengaruh dari luar tetapi kenaikan nilai tukar rupiah juga dipengaruhi faktor dalam negeri, dimana keputusan pemerintah memperketat devisa hasil ekspor (DHE) juga disambut positif oleh para pelaku pasar.
Dan juga, penerbitan obligasi global sebesar US$ 3 miliar juga dinilai menjadi sentimen positif pergerakan nilai tukar rupiah.
"Penerbitan bonds di awal tahun oversubscribe. Kita mengeluarkan US$ 3 miliar, tapi kabarnya permintaannya sampai US$ 17 miliar. Berita tentang DHE, trade (neraca dagang) juga masih surplus. Jadi, banyak sentimen positif," jelas David.
Penguatan rupiah sendiri menurut David masih akan berlanjut hingga semester 1 2023. Hal ini akibat perkembangan positif ekonomi nasional.
Selain itu diasumsikan jika pada semester II 2023 nanti, inflasi global akan lebih bergejolak sehingga nilai tukar rupiah masih akan fluktuatif.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh ekonomi Bank Mandiri Faisal Rachman. Menurutnya, menguatnya rupiah karena adanya faktor internal dan eksternal.
Dari sisi eksternal, sentimen dari global terlihat dari inflasi di berbagai negara maju, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Eropa yang menunjukkan arah penurunan.
"Ini memberikan harapan bahwa bank-bank sentral besar dunia tidak akan terlalu hawkish dalam menaikkan suku bunga acuannya tahun ini," jelas Faisal.
Faisal sendiri memperkirakan dalam jangka pendek rupiah masih akan berfluktuatif dikisaran Rp 14.900 hingga Rp 15.000 per dolar AS. Namun dalam jangka panjang sendiri harus ada antisipasi mengenai gejolak ekonomi didalam negeri, salah satunya neraca perdagangan dalam negeri yang mendapatkan perhatian dari pelaku pasar.
"Kita masih lihat di akhir tahun rupiah akan ditutup pada level Rp 15.200 hingga Rp 15.300 per USD," jelas Faisal. (*)