KETIK, SURABAYA – Warga Korea Selatan saat ini tengah menghadapi ancaman resesi seks, karena rendahnya angka kelahiran dalam beberapa tahun terakhir.
Hal ini, disebabkan oleh berkurangnya minat usia produktif untuk menikah dan memiliki keturunan
Mengutip South China Morning Post, salah satu pertanyaan menyeramkan bagi para 'jomblo' Korea Selatan ketika bertemu dengan kawan, kolega, dan orang-orang yang tak dikenal adalah pertanyaan soal pernikahan.
Alih-alih mencari pasangan lalu menikah, kebanyakan orang Korea malah enggan menikah, bahkan tidak berkencan sama sekali.
Istilah resesi seks (sex recession) kali pertama dicetuskan Kate Julian, peneliti dan penulis, pada 2018 untuk tulisannya di The Atlantic. Resesi seks merujuk pada fenomena hubungan seks yang kian surut. Ia mengutip penelitian dari Jean M. Twenge, profesor psikologi di San Diego State University, yang mengeksplorasi kehidupan seksual warga Amerika.
Salah satu ancaman yang disertai dari fenomena resesi seks adalah penurunan tingkat kesuburan dan angka kelahiran di suatu negara.
Menurut data pemerintah pada 2021, tingkat kesuburan di Korsel turun 0,03 persen menjadi 0,81 persen.
Di tahun sebelumnya, Seoul bahkan mencatat lebih banyak kematian ketimbang tingkat kelahiran.
Kondisi semacam itu membuat jumlah penduduk di Korsel menurun. Untuk menjaga kestabilan populasi, satu negara harus memiliki tingkat kesuburan 2,1 persen.
Penyebab terjadinya resesi seks
Mayoritas perempuan di Korsel mengaku tak punya waktu, uang, dan kapasitas emosional untuk berkencan.
Menurut laporan The Conversation masyarakat muda Korsel saat ini disebut-sebut sebagai "generasi sampo."
Ucapan tersebut merujuk pada generasi yang menyerah terhadap tiga hal, yaitu berkencan, menikah, dan punya anak.
Asisten Profesor Sosiologi di Universitas British Columbia, Yue Qian, mengatakan 40 persen masyarakat Korsel berumur 20-30 tahun sudah berhenti berkencan.
pernikahan dan berkencan bukan menjadi priortias kalangan muda Korsel. Mereka memiliki tanggung jawab lebih banyak soal urusan rumah.
Faktor ekonomi
Selain soal ogah berkencan, muda mudi Korsel juga tak mau menikah dan punya anak karena kesulitan finansial.
Banyak di antara mereka yang bekerja sebagai buruh kontrak, upah rendah, dan jaminan pendapatan.
Jam kerja yang panjang
Menurut laporan OECD, di antara anggota organisasi ini, Korsel adalah negara yang memiliki jam kerja terpanjang, demikian dikutip The Conversation.
Dalam sepekan, jam kerja bisa mencapai 68 jam. Pada 2017 lalu, rata-rata jam kerja warga Korsel bahkan 2.024 jam per tahun.
Merespons situasi tersebut, pemerintah memangkas jam kerja menjadi 52 jam. Dengan demikian warga Korsel punya kehidupan personal usai bekerja. (*)