KETIK, SURABAYA – Mensosialisasikan Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menggelar Kumham Goes To Campus di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Program ini bertujuan agar para civitas akademika memahami aturan yang tertuang dalam KUHP Nasional.
"Ada dua hal penting yang kami lakukan. Pertama adalah sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk di perguruan tinggi," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, Jumat (26/5/2023).
Guru besar Ilmu Hukum Pidana UGM itu menegaskan, sosialiasi merupakan hal yang paling penting agar tidak ada perbedaan pandangan terhadap KUHP Nasional yang baru disahkan pada 6 Desember 2022 dan tercatat sebagai UU nomor 1 tahun 2023 itu. Edward mengatakan, sosialisasi massif juga selanjutnya akan dilakukan dengan menyasar aparat penegak hukum.
"Sekarang tim ahli sedang menyiapkan modul terkait KUHP Nasional.Tiada lain tiada bukan agar teman-teman hakim, jaksa, advokat polisi, dan lembaga pemasyarakatan punya frekuensi dan barometer yang sama untuk memahami KUHP Nasional agar tidak ada disparitas, tidak ada perbedaa dalam implementasinya," ujarnya.
Hal penting kedua yang dilakukan pemerintah adalah menyiapkan sejumlah ketentuan untuk melaksanakan KUHP Nasional. "Sebab, KUHP memberikan delegasi pada aturan di bawahnya untuk implementasi atau pelaksanaannya," kata Edward.
Ia menjelaskan, ada paradigma baru dalam hukum pidana nasional yang tertuang dalam KUHP Nasional, yang membuatnya harus disosialisasikan secara massif. Itu tak lain karena KUHP Nasional bakal mengubah cara berpikir atau mindset masyarakat. Contoh konkretnya, kata dia, mengubah paradigma hukum pidana klasik, di mana hukum dianggap sebagai sarana balas dendam
"Contohnya, kalau kita menjadi korban kejahatan apakah itu pencurian, penipuan, penggelapan, atau apapun maka yang ada dalam benak kita sebagai korban agar polisi secepat mungkin menangkap, menahan, dan menghukum pelaku seberat-beratnya. Artinya kita masih berpegang pada hukum pidana klasik yang mengedepankan hukum pidana sebagai sarana balas dendam," ucapnya.
Padahal, lanjut Edward, dalam paradigma hukum pidana modern, sudah tidak lagi berpegang teguh pada keadilan retributif atau keadilan pembalasan. Hukum pidana modern, lanjutnya, berorientasi pada keadilan korektif yang ditujukan pada pelaku, keadilan restiratif yang ditujukan pada korban, dan keadilan rehbilitatif yang ditujukan kepada korban dan pelaku. "Dan mengubah paradigma ini bukan lah hal yang mudah," kata Edward. (*)