KETIK, BATU – Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Jawa Timur dan Malang Corruption Watch (MCW) merilis kajian mendalam tentang krisis pengelolaan sampah di Kota Batu, Senin, 25 November 2024.
Krisis ini memuncak pada permasalahan tata kelola di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tlekung yang telah beroperasi melebihi kapasitas sejak 2015, hingga menyebabkan pencemaran lingkungan, ancaman kesehatan, dan konflik sosial.
Wahyu Eka Styawan, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur mengatakan, pihaknya mengidentifikasi berbagai masalah. Mulai dari kebakaran lahan akibat pembakaran sampah, pencemaran sungai oleh air lindi, hingga minimnya infrastruktur dan teknologi pengelolaan sampah yang memadai.
"Penutupan sementara TPA Tlekung pada Agustus 2023 hanya memperburuk keadaan. Meningkatnya praktik pembakaran sampah yang merusak lingkungan dan membahayakan kesehatan masyarakat," ujar Eka ditulis Ketik.co.id, Selasa, 26 November 2024.
Wahyu menyampaikan poin masalah dalam tata kelola sampah di Kota Batu. Permasalahan Utama Over kapasitas TPA Tlekung sejak 2015. TPA Tlekung telah melampaui kapasitasnya dengan tumpukan sampah setinggi 30 meter, menciptakan ancaman pencemaran lingkungan dan longsor.
"Pencemaran Limbah Cair (Lindi) sungai Sabrangan desa Tlekung tercemar, mengancam akses air bersih lebih dari 300 kepala keluarga," tambahnya.
Selanjutnya, kata Wahyu, penutupan sementara TPA memicu pembakaran sampah oleh warga, menyebabkan kebakaran lahan dan polusi udara. Ia menyebutkan, dari 24 desa/kelurahan, hanya 18 yang memiliki TPS3R, yang tidak cukup untuk mengelola seluruh sampah harian kota.
"Ketidak konsistenan Regulasi juga poin utama sampah. Implementasi regulasi seperti UU No. 18/2008 dan Perpres No. 97/2017 masih lemah, ditambah transparansi data yang minim," kata Wahyu.
Selain itu, WALHI Jawa Timur dan MCW menekankan bahwa rencana pengoperasian incinerator pada 2024 membutuhkan kajian lebih lanjut terkait dampak lingkungan dan kesehatan. Incinerator bukan solusi jangka panjang dan bisa menimbulkan masalah baru seperti emisi polutan berbahaya dan residu abu toksik.
"Kami juga mencatat pentingnya evaluasi regulasi dan kebijakan pemerintah daerah, seperti implementasi Peraturan Walikota No. 67 Tahun 2018 tentang pengelolaan sampah rumah tangga, yang hingga kini belum maksimal," ulasnya.
Kemudian, atas persoalan tersebut kami merekomendasikan beberapa hal. Diantaranya pengembangan Infrastruktur TPS3R. Menurut Wahyu Pemerintah perlu membangun TPS3R di seluruh desa untuk mengoptimalkan pengelolaan sampah berbasis 3R (reduce, reuse, recycle).
Selain itu, sistem pengolahan limbah cair yang ramah lingkungan harus segera diterapkan untuk mencegah pencemaran lebih lanjut.
"Sosialisasi dan program bank sampah dapat meningkatkan kesadaran warga untuk memilah sampah dari sumbernya.
Pemanfaatan Teknologi Ramah Lingkungan alternatif seperti bio-digester dan pirolisis plastik dinilai lebih berkelanjutan dibandingkan incinerator," pungkasnya. (*)