KETIK, SURABAYA – Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) proporsi kelas menengah di Indonesia terus mengalami penurunan yang signifikan. Pada tahun 2019 jumlah jelas menengah di Indonesia masih sebesar 57,33 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2024 turun menjadi 47,85 juta jiwa.
Ekonom Universitas Airlangga (Unair) Prof Rossanto Dwi Handoyo mengatakan terdapat tren penurunan pada klasifikasi kelas menengah, seperti miskin, rentan miskin, dan Aspiring Middle Class (AMC).
Faktor penurunan ini tidak lepas dari efek pandemi Covid-19 yang sempat melanda beberapa tahun lalu. Selain itu faktor lainnya seperti penurunan permintaan global juga memaksa perusahaan mengurangi jumlah pekerja atau memotong jam kerja.
"Selain itu, pola konsumsi yang meningkat, terutama akses mudah ke pinjaman online, judi online, dan produk gaya hidup murah, semakin memperparah kondisi ini," jelas Rossanto, Senin 16 September 2024.
Rossanto menambahkan, perekonomian Indonesia sangat bergantung pada konsumsi. Sektor konsumsi sendiri menyumbang sekitar 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Oleh karena itu, menurunnya daya konsumsi kelas menengah berdampak besar pada pertumbuhan ekonomi.
Dengan penurunan jumlah kelas ekonomi, maka berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya deflasi selama empat bulan berturut-turut dari Mei hingga Agustus 2024.
"Selama 20 tahun terakhir, Indonesia tidak pernah mengalami deflasi berturut-turut. Ini tanda daya beli masyarakat melemah, dan kita harus waspada," tambahnya.
Dalam menghadapi tantangan ini, Rossanto menyarankan agar pemerintah mengambil langkah melalui kebijakan moneter dan fiskal. Menurutnya, Bank Indonesia dan OJK harus mendukung lebih banyak masyarakat untuk membuka lapangan kerja, bukan sekadar mencari kerja.
"Kebijakan seperti pemberian subsidi bunga bagi UMKM sangat penting untuk mendorong munculnya usaha baru," pungkasnya.(*)