KETIK, SIDOARJO – Kasus kekerasan demi kekerasan terhadap anak mencuat dalam beberapa waktu terakhir di Kabupaten Sidoarjo. Sebagai Kabupaten Layak Anak dengan penghargaan kategori Nindya, kasus-kasus tersebut mengundang keprihatinan. Komisi D DPRD Sidoarjo menyatakan Sidoarjo sudah darurat kekerasan terhadap anak.
’’Kami mengajak semua pihak introspeksi bersama. Bahwa anak-anak itu adalah investasi kita di masa depan,” ungkap Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Abdillah Nasih pada Jumat (28/6/2024).
Legislator PKB di DPRD Sidoarjo itu menegaskan, saat ini, Sidoarjo termasuk darurat kekerasan terhadap anak karena tingginya kasus. Menurut data Komisi D DPRD Sidoarjo, selama 2023, lebih dari 200 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi.
Bentuknya pun beragam. Ada perundungan (bullying), perebutan hak asuh, penganiayaan, pencabulan, pelecehan seksual, hingga perkosaan. Yang mengenaskan, lanjut Nasih, kekerasan terhadap anak justru terjadi di lingkungan sekolah. Lingkungan yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak-anak.
Padahal, anak-anak itu seharusnya mendapatkan perlindungan. Dari perundungan, kekerasan fisik maupun psikis, serta terpenuhi hak-haknya sebagai anak-anak. Komisi D DPRD Sidoarjo berharap ke depan, anak-anak di Kabupaten Sidoarjo terlindungi dan terjamin. Bapik psikis, fisik, maupun masa depannya.
’’Jadi, ke depan, bagaimana mengampanyekan bahwa anakku adalah anakmu. Sehingga, minimal sama-sama saling menjaga,’’ ungkap Nasih, anggota DPRD Sidoarjo asal Kecamatan Waru tersebut.
Data penanganan kasus-kasus kekerasan di Kabupaten Sidoarjo oleh Pemkab Sidoarjo. (Sumber: DPRD Sidoarjo)
Sekretaris Komisi D DPRD Sidoarjo Bangun Winarso menambahkan, selama 2 tahun ini, tingkat kekerasan terhadap anak di Sidoarjo memang meningkat tajam. Fenomena ini muncul di kala keterbukaan sudah ada di masyarakat.
’’Masyarakat semakin berani menyampaikan atau melaporkan jika terjadi kekerasan di lingkungannya,’’ kata Bangun.
Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan? Legislator asal PAN di DPRD Sidoarjo itu menyebutkan dua hal.
Yang pertama, menajamkan analisis dan kajian tentang mengapa fenomena ini terjadi terus-terusan. Kemudian, fenomena itu didalami dan dindaklanjuti.
Caranya, bersama-sama menjalin komunikasi dengan semua stakeholders. Misalnya, mengapa kekerasan terhadap anak justru terjadi di dunia pendidikan. Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat yang paling aman dan nyaman untuk anak.
Yang kedua, masyarakat kita masih sering lengah pada budaya patriarkis. Seakan-akan lelaki itu masih lebih menguasai. Hal itu mendorong kerawanan terjadinya kekerasan. Seperti, pelecehan seksual terhadap anak. Itu akibat pengaruh budaya.
”Mudah-mudahan kitab isa segera menyikapinya,. Yang lebih penting adalah tindakan pencegahan. Jangan sampai terjadi lagi kekerasan terhadap anak,’’ tegas legislator DPRD Sidoarjo dari Kecamatan Krian ini. (*)