KETIK, SIDOARJO – Fakta-fakta bahwa dana bantuan keuangan (BK) desa disusupi kepentingan politik semakin kuat. Direktur Studi Advokasi, Kebijakan, dan Anggaran (SAKA) Indonesia Abdul Basith menyatakan fakta-fakta itu telah terungkap dari Ketua DPRD Sidoarjo H Usman MKes. Ada oknum anggota DPRD yang mematok syarat-syarat tertentu dalam pemberian BK desa.
”Ketua DPRD mengatakan pernah mendapatkan beberapa kali laporan dari kepala desa. Ada oknum seperti itu,” katanya.
Sebagian anggota DPRD Sidoarjo mematok persyaratan-persyaratan tertentu apabila desa ingin mendapatkan dana BK. Misalnya, meminta fee, minta komitmen suara, bahkan meminta menggarap sendiri proyek yang dibiayai dana BK desa.
Bukti ungkapan Ketua DPRD Sidoarjo H Usman MKes itu ditemukan juga oleh Studi Advokasi Kebijakan dan Anggaran (SAKA) Indonesia. Sebuah desa di Kecamatan Waru diberi kucuran dana BK oleh salah seorang anggota DPRD Sidoarjo yang bentuknya pembangunan fisik.
”Tapi, ada syaratnya. Yang menggarap proyek fisik itu anggota dewan sendiri,” ungkap Basith.
Fakta itu semakin menjadi bukti bahwa ada anggota DPRD Sidoarjo yang mengambil keuntungan politis dari dana BK.
Menurut Basith, anggaran BK untuk desa merupakan langkah strategis untuk mengurangi disparitas pembangunan antara desa dan perkotaan. Anggaran BK desa bisa menjadi salah satu indikator kunci keberhasilan upaya pemerataan pembangunan.
Tentu, lanjut dia, keinginan berkembang masyarakat desa berbeda-beda. Hal itu harus diakomodasi oleh pemerintah daerah. Salah satunya wakil-wakil mereka yang duduk di DPRD. Setiap 5 tahun sekali, Dana BK diatur dalam Perda Sidoarjo Nomor 6 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
”Masalahnya, pelaksanaan BK ini sudah jauh melenceng dari tujuannya. Hanya dijadikan alat politik oknum anggota DPRD,” ungkapnya.
Dana BK dalam APBD mencapai ratusan miliar rupiah. Anggaran sebanyak itu justru digunakan untuk sarana meraup suara dalam kontestasi pemilu, termasuk, Pemilu 2024 mendatang ini.
Hal itu bisa dilihat dari alokasinya untuk masing-masing desa. Ada desa yang memperoleh BK desa sampai Rp 4 miliar dalam 1 tahun. Ada pula yang Rp 2 miliar atau Rp 1 miliar, Rp 800 juta, atau Rp 50 juta. Tapi, ternyata ada desa yang tidak mendapatkan BK sama sekali, alias Rp 0.
”Jumlahnya pun tidak sedikit. Di berbagai kecamatan, ada desa yang tidak memperoleh dana BK desa sama sekali,” ungkap Basith.
Kades Maju Jadi Caleg, Dana BK Susut sampai Nol
Fakta-fakta bahwa dana bantuan keuangan (BK) desa terkait erat dengan kepentingan politik juga dirasakan para kades. Jika saja kades ketahuan hendak maju menjadi caleg, bisa jadi, dana BK-nya berkurang, bahkan bisa sampai nol.
Salah seorang kepala desa (kades) mengungkapkan fakta tentang desanya. Pada 2021, desa yang dipimpinnya memperoleh dana BK Rp 100 juta. Pada 2022, dana BK naik dua kali lipat. Namun, pada 2023, 1 sen pun desanya tidak dapat dana BK. Sama sekali.
Kondisi itu, lanjut bisa, dilihat di desa-desa lain yang kadesnya maju menjadi calon anggota legislatif (caleg).
”Sejak saya diisukan mau maju jadi caleg, sama sekali desa saya enggak dapat BK,” ungkap lelaki yang menolak disebutkan namanya itu.
Desa mana sajakah yang Kadesnya maju jadi caleg? Data yang diperolah Ketik.co.id menyebutkan ada lima desa. Empat caleg maju dari partai yang sama. Yakni, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Masing-masing Kades Kramat Jegu, Kecamatan Taman. Desa itu dikucuri BK Rp 100 juta pada 2021, Rp 250 juta pada 2022 dan Rp 0 pada 2023. Sukimin, mantan Kades Kramatjegu, maju menjadi caleg PKB pada Pemilu 2024 ini. Dia berada di nomor urut 4 daerah pemilihan Sidoarjo 5 (Sukodono-Taman).
”Maaf saya tidak enak kalau berkomentar tentang dana BK ini,” kata Sukimin ketika dikonfirmasi media.
Desa lain yang Kadesnya juga maju menjadi caleg ialah Desa Sarirogo. Yunan Faruk Efendi, mantan Kades Sarirogo terdaftar sebagai caleg Partai Nasdem. Dia berada di urutan nomor 10 daerah pemilihan Sidoarjo 1 (Sidoarjo, Buduran, Sedati).
Desa Sarirogo dikucuri dana BK Rp 220 juta pada 2021, Rp Rp 560 juta pada 2022. Dan, pada 2023, tidak ada lagi kucuran dana BK di desa itu alias Rp 0. Beberapa desa lain memang tidak sampai nol. Namun, nilai BK turun.
Sebut saja Desa Pabean, Kecamatan Sedati. Desa itu mendapatkan dana BK pada 2021 Rp 3,10 M. Pada 2022 nilai BK di desa itu menjadi Rp 0 tidak ada sama sekali. barulah pada 2023 ada dana BK lagi Rp 500 juta. Tapi, Kades Pabean Sriatun yang juga istri Wabup Subandi itu tidak mencalonkan diri ke DPRD Sidoarjo. Dia maju menjadi caleg PKB untuk DPRD Provinsi Jatim.
Kemudian, di Kecamatan Buduran, mantan Kades Sidokepung Elok Suciati mencalonkan diri sebagai caleg PKB. Pada 2021, Sidokepung mendapatkan dana BK Rp 1,25 miliar. Kemudian Rp 150 juta pada 2022, dan menjadi Rp 350 juta pada 2023.
Yang terakhir Kades Blurukidul Tri Prastiyono. Dia maju sebagai caleg PKB dari dapil Sidoarjo 1 (Sidoarjo, Buduran, Sedati). Desa itu memperoleh dana BK Rp 1,64 M pada 2021, turun Rp 530 juta pada 2022, dan turun lagi menjadi Rp 350 juta pada 2023.
"Jika seperti itu berarti anggota DPRD tidak bertanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan daerah. Seharusnya, penyaluran dana BK memperhatikan rasa keadilan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat. Sebab, ini bukan soal siapa Kades yang mau nyaleg, tapi soal komitmen keadilan kepada masyarakat desa," tegas Abdul Basith. (*)