KETIK, SIDOARJO – Komisi A DPRD Sidoarjo memanggil pejabat-pejabat terkait untuk mengurai keruwetan kontroversi mutasi pejabat di Pemkab Sidoarjo. Keresahan dan kebingungan para 495 ASN yang dimutasi menjadi perhatian dalam pertemuan Senin (22/4/2024).
Pertemuan DPRD dan Pemkab Sidoarjo itu diadakan di Ruang Paripurna DPRD Sidoarjo. Rapat dipimpin Ketua Komisi A DPRD Sidoarjo H Dhamroni Chudlori MSi. Hadir pula Ketua DPRD H Usman MKes serta anggota komisi A. DPRD Sidoarjo juga mengundang ahli tata negara Dr Rusdianto Sesung SH MH.
Sekretaris Daerah (Sekda) Fenny Apridawati dan Kepala BKD Sidoarjo Budi Basuki serta pejabat terkait lain juga datang. Termasuk, Ketua Bawaslu Sidoarjo Agung Nugraha dan Ketua KPU Sidoarjo M. Iskak.
Dr Sesung menyatakan, pelantikan 495 pejabat Pemkab Sidoarjo pada 22 Maret lalu sah dari sisi administrasi negara. Namun, mutasi itu cacat prosedur karena melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Surat Keputusan Pembatalan dari Bupati Sidoarjo juga sah. Karena sudah cacat prosedur, jelas Sesung, pasal 66 dan pasal 71 UU Nomor 30 Tahun 2014 harus ada keputusan yang isinya mengembalikan ASN pada jabatan sebelumnya.
Pembatalan seharusnya dilakukan terhitung 5 hari setelah diterimanya SE Mendagri terkait larangan mutasi 6 bulan sebelum penetapan calon pilkada. Sesuai dengan aturan dalam UU No. 10 Tahun 2016.
”Patokannya itu 5 hari kerja sejak bupati menerima SE Kemendagri itu,” ujarnya.
Masalahnya adalah Pemkab Sidoarjo tidak tahu kapan SE Mendagri itu keluar dan kapan bupati menerimanya. Kepala BKD Sidoarjo Budi Basuki dan Sekda Fenny Apridawati mengakui tidak tahu kapan SE Mendagri itu diterima.
”Kami juga mengecek di e-buddy, SE Mendagri belum masuk,” ujar Fenny.
Mengapa kemudian pelantikan dibatalkan? Fenny menyatakan adanya kegaduhan di kalangan ASN tentang mutasi itu. Sebab, ada yang sudah syukuran dan sudah serah terima, bahkan sudah menyembelih kambing. Khusunya, di Dinas Pendidikan, yaitu guru-guru yang promosi jadi kepala sekolah.
Fenny pun meminta maaf bila terjadi kegaduhan itu. Dia mengatakan mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan persoalan ini dan menghentikan kegaduhan.
”Kami ambil inisiatif untuk melakukan pembatalan sambil melakukan upaya mendapatkan persetujuan tertulis dari Mendagri,” terangnya.
Ketua Komisi A Dhamroni Chudlori menyatakan kegaduhan ini harus menjadi pelajaran bagi Pemkab Sidoarjo. Ke depan, proses mutasi harus mematuhi prosedur. Taat tata aturan dan tata naskah. Bagaimana bisa seorang kepala BKD dan Sekda tidak memegang SK Bupati tentang Pelantikan Pejabat.
”Sampai sekarang saya ingin tahu di mana SK itu. Supaya bisa disinkronkan dengan surat pembatalan dan lain-lainnya,” ungkap Dhamroni.
Sampai saat ini, belum ada kepastian apakah Mendagri akan memberikan persetujuan tertulis atau tidak. Ada berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Bisa disetujui. Bisa pula tidak.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sidoarjo Agung Nugraha menyatakan bahwa pasal 71 ayat 2 UU No. 10 Tahun 2016 mempersyaratkan persetujuan tertulis Mendagri. Kalau tidak ada persetujuan itu, ada konsekuensi hukum pidananya. Yaitu, sanksi pidana selama-lamanya 1 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp 6 juta.
Untuk menghindari itu, ada prasyarat tambahan di UU Pilkada, yaitu harus ada prosedur SK pembatalan. Bawaslu sudah mengimbau Pemkab Sidoarjo pada 4 April setelah menerima instruksi dari Bawaslu RI per 2 April,.
”Yang bijak ya pembatalan itu,” tegas Agung.
Bagaimana kalau diteruskan dan melanggar UU Pilkada, Bawaslu Sidoarjo, lanjut Agung, menyatakan akan mengkaji keterlibatan masing-masing pihak dalam mutasi per 22 Maret itu. Sebab, pasal 71 ayat 2 itu menyebutkan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Agung menyebutkan bunyi aturan tersebut. Jika ada yang melanggar, maka akan dikenakan sanski administrasi dan pidana. Adapun sanksi administrasi jika gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota.
”Kami akan cari pihak-pihak yang bertanggung jawab sesuai di pasal 190 UU Pilkada itu,” tandasnya. (*)