KETIK, SURAKARTA – Hari Pers Nasional (HPN) diperingati setiap tanggal 9 Februari bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia.
Setelah menjadi salah satu topik pembahasan dalam Kongres PWI ke-28 tahun 1978 di Padang Sumatera Barat sebelumnya, tujuh tahun kemudian Hari Pers Nasional ditetapkan berdasar Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1985.
Memang Hari Pers Nasional erat hubungannya dengan PWI. Maka keberadaan Hari Pers Nasional tentunya tidak lepas dari kota Surakarta, Jawa tengah. Di kota inilah, tepatnya di gedung Monumen Pers pada 9 Februari 1946 silam, Konferensi Wartawan Pejuang Kemerdekaan Indonesia digelar.
Peristiwa bersejarah itulah yang kemudian melahirkan organisasi profesi kewartawanan bernama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Sepuluh tahun kemudian, pada 1956 beberapa wartawan kenamaan Indonesia menyarankan agar mendirikan sebuah yayasan yang menaungi pers nasional. Nah, pada 22 Mei 1956 yayasan tersebut diresmikan dan sebagian besar koleksi museum merupakan hasil sumbangan dari Soedarjo Tjokrosisworo.
Dilansir dari laman resmi Pemkot Surakarta, Monumen Pers Nasional atau yang dulu dikenal dengan nama Societeit Sasana Soeka merupakan sebuah gedung yang berlokasi di depan bundaran Jalan Gajah Mada dan Jalan Yosodipuro, Solo.
Museum sejarah tersebut kini berada di bawah tanggung jawab Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia. Serta menjadi salah satu warisan cagar budaya, terutama bagi sejarah perkembangan pers nasional di Indonesia.
Saat ini Monumen Pers Nasional di bawah tanggung jawab Kementerian Kominfo RI. (Foto: Fajar Rianto / Ketik.co.id)
Merunut ke belakang, dahulu monumen ini dibangun atas perintah dari KGPAA Mangkunegara VII, Pangeran Adipati Aryo Prangwedana pada tahun 1918. Dimaksudkan sebagai sebuah balai perkumpulan dan ruang pertemuan.
Meskipun baru dibangun pada tahun 1918, ternyata rancangan gambar gedung Monumen Pers ini telah diberikan kepada Mangkunegara VII sejak tahun 1917.
Sedangkan perancang bangunan Monumen Pers ini adalah Mas Aboekasan Atmodirono, seorang arsitek asal Wonosobo, Jawa Tengah.
Gaya arsitekturnya yang memadukan kekhasan Hindu-Budha dengan kolonial pada masanya tersebut menjadikan keunikan tersendiri.
Saat wartawan Ketik.co.id menyambangi tempat ini, Jumat (9/2/2024) mendapati ciri khas hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu - Budha terlihat dari beberapa ornamen yang menyerupai stupa di bagian atap. Terlihat pula wajah bangunan bertingkat yang menyerupai candi, serta dinding gedung yang terbuat dari batu andesit.
Begitupula keberadaan pilar besar serta jendela dan pintu yang lebar menunjukkan kentalnya ciri kolonial.
Sayang kehadiran Ketik.co.id bertepatan dengan tanggal merah cuti bersama, sehingga monumen ini libur dan tidak melayani kunjungan.
Tidak hanya jadi saksi bisu berdirinya PWI. Gedung ini pada tahun 1933 juga menjadi saksi terbentuknya radio publik pertama yang bernama Solosche Radio Vereeniging dan dioperasikan oleh pribumi Indonesia.
Kala itu tahun 1937, Solosche Radio Vereeniging diperkirakan menyiarkan musik gamelan secara langsung (live) dari Solo untuk mengiringi Putri Mangkunegoro VII, yakni Gusti Nurul, yang tengah menarikan tari Bedhaya Srimpi di Istana Kerajaan Belanda di Den Haag.
Keberadaan Monumen Pers Nasional, jika dilihat dari samping. (Foto: Fajar Rianto/Ketik.co.id)
Selain itu, gedung ini telah beberapa kali beralih fungsi. Di antaranya pernah dijadikan sebagai klinik perawatan tentara pada masa pendudukan Jepang. Serta digunakan sebagai kantor Palang Merah Indonesia pada masa revolusi nasional.
Hingga pada 9 Februari 1971 Menteri penerangan RI saat itu Budiarjo menyatakan pendirian Museum Pers di Surakarta. Kemudian pada tahun 1973 dalam kongres di Tretes, nama Museum Pers Nasional diubah menjadi Monumen Pers Nasional.
Selanjutnya pada tahun 1977, lahan serta bangunan gedung Monumen Pers disumbangkan kepada pemerintah RI.
Hingga pada tanggal 9 Februari 1978 Monumen Pers Nasional yang saat itu dikelola Yayasan Pengelola Sarana Pers Nasional diremikan oleh Presiden Soeharto. Dengan koleksi meliputi teknologi komunikasi dan teknologi reportase, seperti penerbangan, mesin ketik, pemancar, telepon, dan kentongan besar.
Kompleks monumen ini terdiri dari gedung societeit lama yang dibangun pada tahun 1918, dan digunakan untuk pertemuan pertama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Serta beberapa bangunan gedung yang ditambahkan pada tahun 1970-an.
Hasil penelusuran Ketik.co.id, salah satu keunikan yang dimiliki Monumen Pers Nasional, adalah keberadaan arsip media cetak. Baik berupa koran maupun majalah dari seluruh nusantara mulai tahun 1.800 atau jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI hingga saat ini.
Selain itu di tempat ini bisa disaksikan keberadaan mesin ketik kuno. Merunut sejarahnya, sebelum ada tehnologi ketik komputer maupun ponsel pintar. Mesin ketik kuno pernah berjaya pada masanya. Berikutnya ada juga koleksi radio maupun perangkat multimedia kuno dan sebagainya yang terukir dalam sejarah pers Indonesia.
Hingga kini di Monumen Pers Nasional setiap tanggal 8 Februari dilakukan malam tirakatan Hari Pers Nasional. Terbaru di aula Monumen Pers Kota Surakarta, tadi malam Kamis (8/2/2024),
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Surakarta menggelar malam Tirakatan dan Sarasehan Hari Pers Nasional (HPN) 2024.
Kegiatan bertajuk "Pers Kuat Pemilu Bermartabat", tersebut menghadirkan beragam tokoh penting dari berbagai latar belakang.
Nah, melalui koleksi benda pers bersejarah yang ada di Monumen Pers Nasional ini. Kita dapat menyelami pengetahuan serta dokumentasi sejarah pers nasional dari Sabang sampai Merauke. Serta napak tilas para pahlawan dari bidang pers dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. (*)