KETIK, BLITAR – Ratusan warga Blitar yang terdiri dari petani penggarap dan beberapa organisasi masyarakat, termasuk Komite Rakyat Pemberantas Korupsi (KRPK), Front Mahasiswa Revolusioner (FMR), dan Front Petani Penggarap Mataraman (FPPM), memadati Pendopo Kanigoro untuk melakukan audiensi dengan pejabat Pemerintah Kabupaten Blitar.
Mereka menuntut kejelasan terkait isu pertambangan ilegal serta program perhutanan sosial yang belum kunjung terselesaikan, Kamis 3 Oktober 2024.
Audiensi ini dihadiri Kepala Bappeda Kabupaten Blitar, Ruli Wahyu, yang mewakili Plt Bupati Blitar, dan beberapa pejabat dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait serta Dinas Kehutanan Jawa Timur. Ruli menggantikan Plt Bupati Jumadi yang sedang bertugas di luar kota.
Front Mahasiswa Revolusioner membuka diskusi dengan memaparkan masalah utama yang terjadi di sektor pertambangan Kabupaten Blitar.
Mereka menyebut potensi pertambangan dinilai belum dikelola secara optimal, dengan dampak negatif terhadap lingkungan akibat minimnya regulasi.
Dalam kurun waktu 2021-2024, hanya sekitar Rp1,5 miliar yang masuk ke kas daerah dari sektor tambang, sementara pemerintah daerah harus mengeluarkan dana hingga Rp160 miliar untuk perbaikan jalan di 10 kecamatan yang terdampak tambang di Blitar Utara.
Erdin Subchan dari KRPK mengkritisi bahwa lemahnya regulasi pertambangan telah membuat tambang ilegal marak beroperasi tanpa pengawasan.
Ia juga menekankan potensi pajak dari sektor mineral dan batubara (minerba) yang terbuang sia-sia. Menurutnya, Pemkab Blitar selama ini tidak memiliki payung hukum yang jelas untuk mengatur operasi tambang.
“Tidak ada payung hukum yang jelas dan terkesan dibiarkan oleh Pemkab Blitar dengan banyaknya tambang liar. Hingga saat ini, belum ada regulasi yang dibuat oleh Pemkab Blitar terkait tambang,” ungkap Erdin.
Selain masalah regulasi, Erdin juga menyoroti sistem pengelolaan tambang berada di bawah kewenangan daerah, meski perizinannya diatur oleh pemerintah pusat.
Ia menuntut Pemkab Blitar untuk segera mengambil langkah nyata dalam menyelamatkan pendapatan daerah dan aset yang berasal dari sektor pertambangan.
Joko Prasetyo dari FPPM menuding adanya oknum di Pemkab Blitar yang memanipulasi isu Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) untuk kepentingan politik jelang Pilkada.
Ia mengingatkan bahwa pengelolaan KHDPK berada di tangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bukan pemerintah daerah. Joko menegaskan bahwa isu ini harus diselesaikan sebelum Pilkada untuk menghindari kesan politis.
“Ini tidak ada sangkut pautnya dengan politik, yang jelas ini masalah para petani yang menginginkan hak untuk mendapatkan kesejahteraan,” tegas Joko.
Joko memberikan ultimatum kepada Pemkab Blitar agar dalam waktu maksimal satu bulan sudah ada tindak lanjut konkret terkait dua isu utama ini. Jika tidak, ribuan warga Kabupaten Blitar siap menggelar aksi besar-besaran di Kantor Bupati dan DPRD.
“Saya mengultimatum Pemkab Blitar, jika dalam waktu paling lambat satu bulan tidak ada langkah nyata, ribuan massa akan mengepung Pendopo Kanigoro,” ancamnya.
Menanggapi tuntutan ini, Plt Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Blitar, Ruli Wahyu Prasetyowanto, menjelaskan bahwa pembuatan payung hukum untuk tambang membutuhkan proses pengkajian lebih lanjut. Meskipun begitu, Pemkab Blitar terus melakukan pendampingan dalam hal perizinan, yang merupakan kewenangan pemerintah provinsi dan pusat.
“Untuk pembuatan perda atau perbup terkait pertambangan memang butuh proses. Namun kami terus melakukan pendampingan dalam hal perizinan yang menjadi kewenangan provinsi dan pusat,” ujar Ruli.
Selain isu tambang dan perhutanan sosial, audiensi ini juga direncanakan untuk membahas temuan dugaan korupsi terkait hibah dan aset di Pemkab Blitar selama 10 tahun terakhir. Namun, pemaparan mengenai temuan ini dibatalkan karena kasusnya sudah masuk ke ranah penyelidikan Kejaksaan Kabupaten Blitar.
Audiensi ini diakhiri dengan harapan agar pemerintah daerah segera menindaklanjuti tuntutan yang diajukan oleh warga, terutama terkait penyelesaian masalah tambang ilegal dan program perhutanan sosial. (*)