KETIK, SURABAYA – Bangunan pantai dan lepas pantai yang berinteraksi langsung dengan air laut memicu terjadinya kerusakan, salah satunya berupa bio-korosi. Jika tidak segera diatasi, maka masa pakai struktur tidak akan bertahan lama.
Beranjak dari hal tersebut, salah satu guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Herman Pratikno, S.T, M.T, Ph.D menggagas pengendalian bio-korosi pada bangunan laut dengan perbaikan material melalui metode Heat Treatment.
Herman menjelaskan bahwa bangunan pantai dan lepas pantai umumnya terbuat dari logam sehingga rentan terhadap korosi.
Di sisi lain, bio-korosi pada material bangunan laut merupakan kerusakan pada suatu material akibat menempelnya mikroorganisme di struktur tersebut. Adapun tingginya salinitas air laut memicu percepatan terjadinya bio-korosi.
“Oleh sebab itu, untuk mencegah kerusakan struktur diperlukan cara untuk mengendalikan bio-korosi,” ujarnya.
Lebih lanjut, profesor ke-199 ITS ini menyebutkan jika pengendalian bio-korosi dapat dilakukan dengan memperbaiki sifat mekanik material itu sendiri.
Salah satu metodenya adalah dengan proses perlakuan panas (heat treatment). Hal ini bertujuan untuk mengubah sifat logam melalui proses pemanasan, sehingga menghasilkan sifat dan kekerasan logam yang diinginkan.
“Kemudian dilakukan uji korosi dengan air laut buatan untuk mengukur laju korosi tiap material,” tambahnya.
Pada penelitian yang dituangkan dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai profesor ITS ini, Herman melakukan empat pengujian heat treatment.
Uji pertama dilakukan dengan perlakuan panas hardening. Dengan suhu 845 derajat celcius, logam dipanaskan dalam waktu 15 menit.
Lalu dilakukan pendinginan cepat dengan media air hingga logam mengeras. Dengan suhu dan waktu yang sama, lalu dilakukan perlakuan panas normalizing.
“Yang membedakannya hanya pendinginannya dengan udara bebas di luar dapur pemanas,” ungkap lelaki kelahiran Surabaya ini.
Lebih dalam lagi, Kepala Departemen Teknik Kelautan ITS ini menambahkan, perlakuan panas pada sampel ketiga dilakukan dengan full anealling.
Metode ini hampir sama dengan metode kedua, hanya saja logam didinginkan dengan udara bebas di dalam dapur pemanas. Terakhir, perlakuan panas austempering.
Dengan suhu dan waktu yang sama, logam dipanaskan kemudian dilakukan pendinginan dengan salt balt bersuhu 300 derajat celcius dalam waktu 60 menit.
Dari keempat metode perlakuan panas tersebut, didapatkan tingkat kekerasan material dari yang tertinggi ke terendah secara berurutan adalah hardening, austempering, normalizing, dan full anealling.
Kemudian dilakukan uji korosi menggunakan air laut buatan dengan salinitas 3,5 persen serta ditambahkan pula salah satu jenis alga.
“Ditambahkan Chlorella vulgaris yang bertujuan untuk menilai laju korosi material,” beber profesor ke-9 Departemen Teknik Kelautan ITS ini.
Hasil pun menunjukkan jika dari empat sampel logam yang telah diberikan perlakuan panas, logam hasil pemanasan full anealling memberikan hasil yang signifikan baik.
Laju korosi logam dengan perlakuan panas tersebut mengalami penurunan sebesar 46,58 persen.
“Hasil ini pun jauh lebih baik dibandingkan dengan uji korosi logam tanpa menggunakan alga,” tuturnya.
Melalui hasil penelitiannya yang memuaskan tersebut, lelaki yang dikukuhkan menjadi profesor bersamaan dengan istrinya ini mengharapkan agar perbaikan material dengan perlakuan panas dapat menjadi alternatif dalam menghambat terjadinya bio-korosi.
“Dengan ini, masa pakai struktur pun dapat diperpanjang dan bisa lebih mendukung bidang kemaritiman nasional,” tutup Herman penuh harap. (*)