KETIK, JAKARTA – Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah dua organisasi dakwah yang sangat populer di Indonesia. NU dikenal dengan toleransinya terhadap tradisi-tradisi yang ada di Indonesia, sementara Muhammadiyah dikenal dengan istilah pemurnian Islam dan gebrakannya dalam dunia pendidikan.
Dua organisasi ini dianggap sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia. Hal ini dipandang dari segi jumlah anggotanya yang sangat besar, dan banyak cabang-cabang organisasi Muhammadiyah maupun NU yang tersebar di seluruh penjuru negara ini.
Keduanya juga mempunyai peran penting dalam kehidupan politik serta proses demokratisasi dan bernegara di Indonesia.
Perbedaan NU dan Muhammadiyah
Secara doktrinal, NU dan Muhammadiyah mempunyai beberapa perbedaan atau distingsi terutama dalam pengamalan ibadah yang bersifat Furuiyah (cabang-cabang) dalam Islam. Karena perbedaan sudut pandang dan metode ijtihad yang dikembangkan oleh dua organisasi Islam itu, efeknya sangat terasa, misalnya ketika menentukan awal bulan Ramadan, Syawal, Zulhijjah dan sebagainya.
Perbedaan orientasi keagamaan NU dan Muhammadiyah bisa dilacak berdasarkan proses polarisasi pemikiran dan pengalaman pendidikan dua tokoh utama pendiri organisasi tersebut, yaitu KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari. Keduanya merupakan representasi ulama nusantara yang hidup pada abad ke 19 dan ke 20.
Perbedaan pendidikan dan pengalaman itulah yang menyebabkan NU dan Muhammadiyah menjadi dua organisasi yang berbeda, meski hal tersebut tidak bersifat prinsipil. Sehingga, perbedaan NU dan Muhammadiyah ini masih berada dalam koridor toleransi dan tidak sampai menimbulkan konflik. Berikut rincian mengenai perbedaan NU dan Muhammadiyah, dikutip dari Nizham Journal of Islamic Studies IAIN Metro.
1.Perbedaan NU dan Muhammadiyah dalam Hal Pengaruh Guru
KH. Ahmad Dahlan dipengaruhi oleh Syeikh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiai Mas Abdullah dan Kiai Faqih Kembang. Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Muhammad ibn Abdul Wahhab, Jamaludin al-Afghany, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida sebagai guru-gurunya.
Kecenderungan orientasi keagamaan yang dibawa oleh para guru kepada pendiri Muhammadiyah ini adalah soal Reformisme (Tajdîd) Islam, Puritanisasi atau Purifikasi (pemurnian) ajaran Islam, Islam Rasional, dan Pembaruan sistem pendidikan Islam.
Sementara pada KH. Hasyim Asy’ari, para guru yang berpengaruh adalah KH Kholil Bangkalan, KH Ya‟kub, Syaikh Ahmad Amin al-Atthar, Syaikh Sayyid Yamani, Sayyid Sultan Ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan al-Atthar, Sayyid Alawy Ibn Ahmad Al-Saqqaf, Sayyid Abas Maliki, Sayid al-Zawawy, Syaikh Shaleh Bafadal dan Syaikh Sultan Hasym al-Dagastany.
Kecenderungan orientasi keagamaan yang dibawa oleh para guru ini adalah soal Penganjur Fiqih Madzhab Sunni terutama madzhab Syafi'i, menekankan pendidikan tradisional (pesantren), dan praktek Tasawuf dan /tarekat , dan Faham Ahlusunnah Wal Jama'ah.
2.Perbedan NU dan Muhammadiyah dalam Hal Faham Keagamaan
Berikut ini adalah perbedaan faham keagamaan antara NU dan Muhammadiyah yang perlu diketahui;
Nahdlatul Ulama:
-Membaca Qunut dalam sholat Subuh
-Membaca Sholawat/puji-pujian setelah Adzan
-Tarawih 20 Rakaat
-Niat shalat dengan membaca Ushalli
-Niat puasa dengan membaca nawaitu sauma ghadin dengan jahr, niat berwudulu dengan nawaitu Wudu’a lirafil hadats
-Tahlilan, Dibaiyah, barjanzi dan selamatan (kenduren)
-Bacaan Dzikir setelah sholat dengan suara Nyaring
-Adzan subuh dengan lafad Ashalatu khair minan naum
-Adzan Jum'at 2 kali
-Menyebut Nabi dengan kata Sayyidina Muhammad
-Shalat Id di masjid
-Menggunakan Madzhab Empat dalam Fikih (Syafii, Maliki, Hambali dan Hanafi)
Muhammadiyah:
-Tidak membaca Qunut dalam Shalat Subuh
-Tidak membaca puji-pujian/sholawat
Tarawih 8 rakaat
-Niat Shalat tidak membaca Ushalli
-Niat Puasa dan Wudlu tanpa dijahr-kan.
-Tidak boleh Tahlilan, Dibaiyah, Berjanzi dan Selamatan (kenduren)
-Dzikir setelah shalat dengan suara pelan
Adzan Subuh tanpa Ashalatu khairu minan Naum
-Adzan Jum'at 1 kali
-Tidak menggunakan kata Sayyidina
-Shalat Id di lapangan
-Tidak terikat pada madzab dalam fikih.(*)