KETIK, SURABAYA – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menaruh perhatian serius mengenai cara mencegah kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.
Kepedulian itu ditunjukkan Pemkot Surabaya dengan mengadakan Talkshow Puspaga dengan tema "Pencegahan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan di Surabaya Great Expo.
Narasumber yang hadir yaitu Kepala Kantor Unicef untuk Wilayah Jawa Tubagus Arie Rukmantara, Dr Martadi Pemerhati Pendidikan, Nanang Abdul Chanan Pemerhati Anak, dan Nirzara Syarifal Afarizi akrab disapa Ceca sebagai Pengurus Forum Anak Surabaya (FAS).
Talkshow ini membahas pentingnya memperhatikan lingkungan satuan pendidikan untuk perkembangan anak di masa mendatang. Ekosistem sekolah yang baik dan kondusif dapat mendorong peserta didik mengembangkan potensi terbaiknya. Oleh karenanya sekolah diharapkan menjadi tempat yang nyaman dan aman untuk anak.
Pemerhati Anak, Nanang Abdul Chanan menjelaskan selama ini guru dan orangtua meyakini bahwa penggunaan hukuman baik fisik maupun psikis efektif dalam membentuk perilaku anak atau siswa menjadi disiplin, padahal sebaliknya, anak bisa saja meniru kekerasan tersebut.
"Ada 3 dosa pendidikan yang ingin dihapus kekerasan seksual, perundungan dan intoleransi," ujarnya, Minggu (20/8/2023).
Nanang juga menjelaskan beberapa kekerasan yang disebutkan dalam Permendikbud No 46 Tahun 2023 mencakup kekerasan fisik, verbal, nonverbal, seksual, melalui media teknologi dan informasi (online).
"Hari ini termasuk disosialiasikan, kita obrolin justru mengundang yo opo Suroboyo iki (bagaimana Surabaya ini) menciptakan sekolah aman dicegah supaya tidak ada kekerasan, ditangani lek wes ono (kalau sudah ada) ," paparnya.
Tujuan dari pencegahan dan penanganan kekerasan anak yang tinggal di Surabaya dapat menikmati haknya di sekolah, rumah dan lingkungan.
Strategi pencegahan kekerasan di sekolah. Pertama melalui pendidikan dan kesadaran. Kedua, Program pembelajaran tentang kekerasan dan akibatnya. Ketiga, kampanye anti-kekerasan di sekolah. Keempat dilakukannya pengawasan dan pelaporan.
"Ada kebijakan, komitmen yang itu bisa dianggap kekerasan kalau sekolahnya membiarkan mengakibatkan terjadinya kekerasan, yang mengakibatkan kesengsaraan," ujar Nanang.
Kemudian bisa juga meningkatkan pengawasan di lingkungan sekolah dan terakhir mendorong siswa dan staf untuk melaporkan tindakan kekerasan.
Penggunaan ponsel digital membuat anak-anak juga menerima kekerasan berbentuk verbal maupun non verbal melalui pesan yang ada di media sosial.
Mengenai pencegahan di dunia digital, FAS memiliki forum digital yang berada di aplikasi Telegram, di medsos tersebut anak-anak Surabaya bisa menceritakan atau melaporkan kejadian yang dialaminya tanpa mencantumkan nama.
Arie Rukmantara menjelaskan jika penanganan kekerasan anak di Surabaya sangat baik maka di Jawa Timur turun drastis kekerasan di Indonesia.
"Semua riset menunjukkan keberhasilan siswa-siswi termasuk yang bagus di matematika, fisika, olahraga, seni musik dan lain-lain tidak pernah diikuti oleh kekerasan di sekolahnya, selalu diikuti oleh pembimbingan, pencegahan, kasih sayang tentunya juga ruang untuk berpartisipasi," pungkas Arie. (*)