KETIK, SURABAYA – Pemkot Surabaya berkomitmen melaksanakan program Dandan Omah atau Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu). Anggaran yang disiapkan untuk 1.500 rumah adalah Rp 68,7 miliar.
Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman serta Pertanahan (DPRKPP) Kota Surabaya Lilik Arijanto menjelaskan bahwa program ini diperuntukkan untuk keluarga miskin atau gamis.
Sebanyak 1.500 unit rumah itu akan menggunakan dana kelompok teknis perbaikan rumah (KTPR) dan dana satgas.
"Selain menggunakan dana APBD, kami juga menjalin kerjasama dengan beberapa pihak untuk non-APBD, mungkin nanti ada dari Baznas Surabaya, Bangga Surabaya Peduli dan beberapa pihak lainnya. Namun, untuk jumlahnya kami masih koordinasikan lebih lanjut,” tegasnya pada Jumat (26/1/2024).
Ia juga memastikan bahwa setiap unit rumah yang dibedah atau diperbaiki itu dianggarkan sebesar Rp 35 juta dengan estimasi pengerjaan 20 hari.
Lilik juga mengatakan bahwa program Dandan Omah ini sudah dimulai awal tahun ini, karena memang pengusulannya sudah dilakukan oleh pihak kelurahan pada akhir tahun lalu.
"Nah, setelah ada pengusulan ini, lalu kita pilah yang kategori gamis, lalu kita kerjakan. Bahkan, di awal tahun ini kita sudah mulai garap sekitar 50 unit,” tegasnya.
Sementara itu, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menjelaskan bahwa dalam rangka merealisasikan program Dandan Omah ini, Pemerintah Kota Surabaya mengedepankan kearifan lokal, yaitu guyub rukun dan gotong royongnya warga Kota Surabaya.
Sebab, pengerjaan Dandan Omah itu dilakukan oleh warga di sekitarnya, mulai dari kuli bangunannya hingga tukangnya, termasuk pembelian alat atau bahan bangunannya juga diambilkan dari toko bangunan di wilayah tersebut.
"Dengan cara ini, maka perekonomian akan berputar di wilayah tersebut, sehingga program ini juga bisa menggerakkan ekonomi, bisa mengurangi pengangguran dan kemiskinan di wilayah tersebut,” kata Eri.
Menurutnya, gotong-royong dan guyub rukun warga inilah yang menjadikan Surabaya menjadi kota yang luar biasa. Selain itu, dengan kekuatan gotong-royong ini bisa membuat tingkat kemiskinan dan pengangguran di Kota Surabaya terus menurun.
"Kalau kemiskinan ini sudah berkurang, pengangguran berkurang, ekonomi bergerak, maka secara otomatis bayi stunting juga bisa hilang, bayi gizi buruk bisa hilang," kata dia.
Terlebih, kata Eri, modernisasi zaman tak membuat gotong-royong masyarakat Surabaya luntur. Ia meyakini, dengan gotong royong dan sinergi kuat, menjadikan Surabaya kota yang luar biasa.
"Inilah hebatnya warga Surabaya, dengan zaman modernisasi, sebagai kota dunia, tapi guyub-rukunnya, gotong-royongnya tidak hilang. Top warga Surabaya. Matur nuwun (terima kasih), bangun terus bareng-bareng, sinergi kuat, Surabaya hebat," pungkasnya. (*)