KETIK, SURABAYA – Finalis Puteri Indonesia Jawa Timur 2023, Anisah Nabilatil Ulayyah, yang akrab dengan panggilan Nabila bicara perihal pentingnya pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan pernikahan dini bagi kaum perempuan.
Menurut pemilik akun media sosial Instagram @nabila_ulayyah, di Indonesia KDRT merupakan permasalahan yang selalu menjadi urutan pertama dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan ke Komnas Perempuan.
"Tercatat ada sebanyak 2.527 kasus KDRT pada 2021. Ketimpangan inilah yang biasanya ditemui pada masyarakat yang memiliki budaya patriarki yang tinggi sekaligus memiliki sejarah kolonialisme," kata Nabila kepada media online nasional Ketik.co.id melalui pesan WhatsApp, Senin (30/10/2023).
Nabila yang kini bekerja sebagai Banker menerangkan, bahwa penjajahan di masa kolonial sebagai akar tumbuhnya sistem dan struktur seperti diskriminasi rasial dan ketidaksetaraan gender yang menyebabkan tingginya kekerasan terhadap perempuan.
"Sehingga perihal pernikahan dini tentu bisa menurunkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, karena terputusnya kaum perempuan untuk memperoleh akses pendidikan yang lebih layak," ujarnya menambahkan.
Alhasil, kata Nabila, angka kemiskinan semakin bertambah dan beban negara juga semakin menumpuk. Oleh karena itu menurutnya, usaha yang tepat adalah pemerintah mencanangkan program wajib belajar 12 tahun dengan syarat pemberian bantuan dan biaya gratis bagi siswa kurang mampu.
Dirinya mengungkapkan, pernikahan dini pada usia remaja pada dasarnya berdampak pada segi fisik maupun biologis, yaitu perempuan muda yang hamil akan lebih gampang menderita anemia selagi hamil dan melahirkan serta menjadi salah satu penyebab tingginya kematian ibu dan bayi.
"Lalu interaksi dengan lingkungan teman sebaya berkurang, sempitnya peluang mendapat kesempatan kerja, yang otomatis menyebabkan kemiskinan serta pendidikan yang minim, pernikahan usia dini cenderung sangat sulit mewujudkan tujuan perkawinan secara baik," terangnya.
Masih kata Nabila, dampak pernikahan dini hanya membawa penderitaan dan kekerasan yang disebabkan oleh pasangan. Hal ini akibat kondisi psikis yang masih labil, menyulut emosi sehingga akan berdampak pada terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
"Dampak pernikahan dini bagi kedua pasangan yang masih muda ini, masih terlihat banyak hal negatifnya dari pada hal positifnya, antara lain seperti depresi, kesehatan, mental kedua pasangan terjadi KDRT, dan anak terlantar," imbuhnya.
Masalah pernikahan dini, kata mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember ini, sebenarnya adalah masalah yang sangat serius dan harus dipikirkan solusinya untuk mencegahnya, karena masa depan bangsa sangat berhubungan dengan generasi muda saat ini.
"Dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah kekerasan fisik secara langsung atau tidak langsung yang dapat mengakibatkan mereka menderita rasa sakit fisik yang disebabkan luka akibat kekerasan tersebut," tegas Nabila.
Lebih lanjut, Nabila mengungkapkan, kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah dalam berhubungan, karena istri menjadi ketakutan dan kurangnya respon normal hubungan tersebut.
"Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, syok, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kurang pergaulan, serta depresi yang mendalam," tuturnya.
Masih kata Nabila, termasuk di dalamnya kekerasan ekonomi yang mengakibatkan terbatasnya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya yang berupa kekerasan fisik.
"Dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa korban istri adalah kekerasan fisik langsung yang mengakibatkan korban menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat kekerasan tersebut," imbuhnya.
Ia lantas menjabarkan, kehamilan pada usia muda di pernikahan dini tentunya memiliki risiko atau komplikasi yang berbahaya, antara lain, perempuan yang melahirkan sebelum usia 15 tahun memiliki risiko kematian 5 kali lebih besar daripada perempuan yang melahirkan pada usia di atas 20 tahun. Kematian pada ibu hamil usia 15-19 tahun lebih sering dijumpai di negara dengan pendapatan menengah ke bawah.
"Bayi yang lahir dari perempuan usia kurang dari 18 memiliki risiko mortilitas dan mobbiditas 50 persen lebih besar daripada bayi yang lahir dari ibu usia di atas 18 tahun. Bayi lahir prematur, BBLR, dan perdarahan persalinan," tuturnya.
Maka dari itu, ia mengajak untuk melakukan kampanye melalui sosial media dan sosialisasi pada anak usia di bawah 18 tahun untuk tidak melakukan pernikahan dini. Karena banyak sekali dampak negatif yang timbul akibat pernikahan dini.
Lalu, Nabila menyatakan, perlunya kampanye masif pencegahan perkawinan anak usia dini kepada publik untuk mencegah pernikahan dini dan dapat berperan untuk mengurangi angka stunting.
"Sehingga kita berharap sekaligus mengimbau dan mengajak seluruh OPD, instansi vertikal, maupun organisasi masyarakat (ormas) dan keagamaan untuk ikut andil bersama-sama memberikan edukasi dan menyadarkan masyarakat untuk tidak melakukan perkawinan di usia dini," sambungnya.
"Hal tersebut juga bertujuan untuk mengurangi angka perceraian, terutama akibat dari pernikahan dini," tandasnya.(*)