KETIK, SURABAYA – Rencana pemerintah pusat menaikkan pajak hiburan dan hotel naik 40 hingga 75 persen akan mulai diterapkan di Jawa Timur. Hal ini mendapatkan sorotan dari Anggota Komisi E DPRD Jatim Mathur Husyairi.
Ia menilai, upaya pemerintah untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) jangan sampai dengan cara mencekik masyarakat.
"Kita tahu saat ini pengusaha semua lagi fokus untuk pembenahan perekonomian mereka pasca Covid-19 yang membuat hotel dan tempat hiburan seperti Karaoke tengah mulai bangkit," beber Mathur saat dihubungi Ketik.co.id, Senin (5/8/2024).
Mathur mengakui, rencana kenaikan pajak hiburan dan hotel itu sudah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Dalam Pasal 58 ayat 2 UU tersebut menyatakan, jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa dikenakan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atau PBJT paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Dengan ada penerapan tersebut, Mathur menilai perlu adanya peraturan daerah (Perda) yang mengatur pajak tersebut. "Bagaimana pun pemerintah daerah harus mengatur pajak tersebut agar tidak memberatkan masyarakat dengan pajak yang tinggi," jelasnya.
Mathur menjelaskan agak sedikit rancu dalam penerapan kebijakan pajak tersebut. Dimana pemerintah pusat meminta pengusaha untuk bergeliat dan bangkait pasca covid-19 lalu, namun disatu sisi penerapan pajak yang sangat tinggi. "Ini jadi masyarakat terlebih pengusaha akan bingung untuk membangkitkan usaha mereka," jelasnya.
Mathur menilai jika penerapan pajak 40 hingga 75 persen harus melalui beberapa kajian untuk penerapan terlebih di Jatim. "Meskipun perkembangan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur memang sangat baik se-indonesia, akan tetapi kenaikan dan pertumbuhan ekonomi di regional Jawa Timur ini kan tidak semuanya tergolong bagus, jadi perlu adanya kajian tersebut," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Harian Kordinator Wilayah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (Korwil PHRI) Surabaya Puguh Sugeng Sutrisno menjelaskan saat ini undang-undang tersebut masih dilakukan pengajuan uji materi atau judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Saya rasa penerapan kenaikan pajak itu hanya diterapkan di tempat-tempat tertentu saja seperti hotel bintang 5 yang memiliki diskotik atau tempat hiburan malam serta karaoke saja," jelasnya.
Puguh menjelaskan adanya kenaikan pajak 40 hingga 75 persen ini sangat mempengaruhi okupansi hotel. "Karena memang halnitu masuk dalam fasilitas hotel untuk tamu. Kenaikan ini berdampak pada jumlah tamu yang memilih menggunakan fasilitas tersebut," ungkapnya.
Pemerintah daerah sudah menerapkan pajak hiburan tersebut hanya mencapai 40 persen dibeberapa daerah di Jatim. "Hal ini karena penghasilan daerah tersebut sangat kecil jadi penerapan 40 persen tetap dilakukan," terang Puguh.
Namun, Puguh menegaskan jika kenaikan pajak tersebut tidak berlaku untuk pajak menginap hingga pajak makanan dan minuman. Dalam pajak tersebut tetap ditarik 10 persen. "Kalau okupansi menginap itu tidak terpengaruh karena memang pajaknya tetap sama saja," jelasnya. (*)