KETIK, MALANG – Perempuan memiliki peran yang sangat besar dalam membangun peradaban bangsa. Jika selama ini hanya dikenal laki-laki lah yang dapat menjadi ulama, rupanya anggapan tersebut keliru. Indonesia sendiri memiliki banyak ulama perempuan yang tak hanya berjuang mengisi kemerdekaan, namun terlibat dalam melawan penjajah.
Lebih dari itu, ulama perempuan juga memegang teguh nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan, khususnya untuk kemajuan perempuan. Berikut lima ulama perempuan yang dirangkum oleh Ketik.co.id
Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1674 M)
Sultanah Safiatuddin merupakan perempuan pertama yang diangkat menjadi raja di Aceh Darussalam. Meskipun sempat mendapat pertentangan karena statusnya sebagai perempuan, namun selama 34 tahun pemerintahannya ia berhasil membawa kemajuan.
Kecintaan Sultanah Safiatuddin terhadap ilmu pengetahuan membuat Aceh Darussalam berkembang pesat dalam ilmu pengetahuan, sastra, dan seni budaya. Ia bahkan membuat kebijakan untuk mengangkat kedudukan dan menciptakan perlindungan bagi para perempuan. Tak hanya itu ia berhasil menghadapi ancaman Belanda yang ingin menduduki Aceh Darussalam.
Ratu Sinuhun (w.1642 M)
Kitab Simbur Cahaya yang diciptakan oleh Ratu Sinuhun menjadi karya besar yang dimiliki oleh Palembang. Istri Raja Kesultanan Palembang Darussalam, Pangeran Sida Ing Kenayan tersebut memadukan hukum adat dan hukum Islam. Dalam kitab tersebut memuat aturan yang menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan, hingga memberikan perlindungan yang tegas bagi perempuan. Ia tak segan memberikan sanksi berupa denda hukuman yang berat bagi laki-laki yang menggoda perempuan.
Fatimah al-Banjary (Abad ke-18 M)
Fatimah al-Banjary merupakan cucu pertama dari Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (w 1710 M), ulama besar dari Kerajaan Banjar di Martapura, Kalimantan Selatan. Fatimah al-Banjary menjadi guru besar perempuan pada masanya.
Dilansir dari Kupipedia milik Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), terdapat kitab Perukunan Besar yang populer di Banjar dan Melayu. Meskipun dalam cover kitab seakan menisbahkan tulisan tersebut pada pamannya yakni Syaikh Jamaluddin namun penelitian Martin van Bruinessen, kitab ini ditulis oleh Syaikhah Fatimah. Hal ini terjadi lantaran dalam tradisi, masih menganggap menulis kitab adalah pekerjaan laki-laki.
Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan (1872-1946 M)
Siti Walidah memainkan peran penting dalam memajukan peradaban perempuan melalui Sopo Tresno yang menjadi cikal bakal organisasi Aisyiyah. Nyai Walidah mengajarkan agama kepada perempuan untuk membentuk kesadaran atas hak dan kekuatan perempuan.
Nyai Walidah terus aktif berdakwah, meningkatkan iman, ilmu dan keterampilan anggota Aisyiyah. Ia menaruh perhatian terhadap burih perempuan di unit usaha batik di Kauman, Yogyakarta. Setiap selesai Maghrib, Nyai Walidah memberikan pengajian agama, cara membaca, dan menulis kepada para buruh perempuan.
Nyai Khoiriyah Hasyim (1908-1983)
Nyai Khoiriyah Hasyim merupakan seorang ulama perempuan dari Jombang, Jawa Timur. Ia satu-satunya perempuan yang mampu duduk di jajaran Bahtsul Masail Nadhlatul Ulama.
Saat tinggal di Makkah, Nyai Khoiriyah madrasah lil banat yang menjadi madrasah perempuan pertama di Makkah pada 1942 Masehi. Sementara di Indonesia ia juga memimpin Madrasah dan Pondok Pesantren Seblak yang banyak menerima santri putri untuk kemajuan pendidikan perempuan.
Dalam memperjuangkan hak perempuan, Nyai Khoiriyah tak segan menolak mengajarkan kitab Uqud Al-Lunain yang membahas hubungan suami istri serta hak dan kewajiban perempuan. Menurutnya kitab tersebut terlalu bias terhadap perempuan sebab ditulis oleh laki-laki.
Para ulama perempuan ini adalah bukti bahwa perempuan memiliki peran dalam perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan. Masih banyak ulama perempuan Indonesia dengan kontribusi yang luar biasa dan patut diabaikan. Sayangnya nama-nama mereka tidak banyak terekam dalam sejarah peradaban. (*)