KETIK, MALANG – Makna kemerdekaan tidak hanya terwujud dalam peringatan seremonial dan mengenang jasa pahlawan. Orang-orang yang hidup dan melanjutkan hidupnya di pinggiran jalan Kota Malang rupanya memiliki beragam pengertian akan makna kemerdekaan.
Salah satunya ialah Wisdi (50) yang sudah berjualan koran sejak tahun 1987. Wisdi sering terlihat menjajakan koran-korannya di sekitar Jalan Besar Ijen dengan berjalan kaki.
Baginya kemerdekaan datang saat ia sedang berjualan koran. Wisdi tidak perlu menjalani kehidupan yang terikat dengan banyak aturan.
"Saya berjualan koran karena tidak mau terikat, rasanya tidak enak. Saya lebih senang seperti ini, mendapatkan penghasilan dengan apa kata kita saja, kalau tidak dapat penghasilan ya risiko kita," ujarnya pada Rabu (16/8/2023).
Menjelang Hari Kemerdekaan ke-78 RI ini, Wisdi hanya ingin menjalani hidup dengan apa adanya. Wisdi juga tetap memastikan penghasilan dari berjualan koran tetap dapat menunjang kebutuhan pribadinya maupun keluarga.
"Kalau kebutuhan kita banyak, rezeki pasti banyak, tapi kalau kebutuhan kita sedikit ya rezeki pasti dikurangi. Saya sendiri belum menikah tapi membiayai kebutuhan keluarga yang ada. Penghasilan tidak menentu, tergantung rezeki yang penting cukup untuk kebutuhan sehari-hari," jelasnya.
Wisdi, penjual koran di sekitar Jalan Ijen (foto: Lutfia/ketik.co.id)
Selain Wisdi, Emi (72) yang juga penjual koran di Pasar Blimbing memiliki makna kemerdekaannya sendiri. Baginya kemerdekaan datang saat ia berhasil mempertahankan lapak yang selama ini ia gunakan untuk berjualan koran.
Usahanya itu berdiri sejak tahun 1985. Emi mengaku bersusah payah mencari uang supaya mampu mendirikan lapak tersebut.
"Kalau saya tidak kerja, sayang lapaknya bisa mangkrak karena ini punya saya sendiri, uangnya saya juga cari sendiri. Saya tidak ingin merepotkan anak-anak, biar mereka bisa mengurus dirinya sendiri saja," ungkap Emi.
Dengan usaha berjualan koran, Emi berhasil menyekolahkan ketiga anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. Kini mereka telah memiliki pekerjaan dan keluarga masing-masing. Alhasil saat ini Emi tinggal seorang diri di rumahnya, mengingat suaminya sudah lama meninggal dunia.
"Meskipun saya sudah tua, tetap harus cari uang karena akan susah kalau tidak punya uang. Keuntungan dari jualan koran ya cukup untuk makan sehari-hari meskipun lakunya hanya sedikit. Tapi saya juga jualan tape, ini kulakan dan banyak yang suka," tambahnya.
Emi selalu menegaskan bahwa ia bersyukur atas hidup yang ia jalani. Kegemarannya berjualan koran juga menjadi faktor usahanya dapat berjalan hingga puluhan tahun.
"Kalau tidak merdeka, ya saya tidak bisa cari uang. Suami sudah meninggal, tapi dengan saya punya suami, punya anak-anak, itu sudah cukup, hidup saya tidak ngoyo. Saya senang jualan koran, kalau tidak senang ya tidak akan bertahan lama. Apalagi ini punya sendiri, selama jualan ini tidak pernah hutang," ujar Emi.
Emi saat menjual koran di lapaknya di Pasar Blimbing (foto: Lutfia/ketik.co.id)
Sementara itu, makna kemerdekaan juga hadir di sepanjang Jalan Veteran. Di sana Ketik.co.id bertemu dengan Bobi (45) pemulung asal Sidoarjo yang mengadu nasib di jalanan Kota Malang. Bobi tidak memiliki tempat tinggal di Kota Malang, saat malam hari, ia biasa tidur di pinggir jalanan dengan becak yang ia sewa untuk memulung.
"Bagi saya kemerdekaan ya dengan cara bekerja sebagai pemulung. Kita bekerja sesuai dengan porsi, tetap berada di jalur yang benar dan mengisi pembangunan. Memulung kan berimbas juga bagi pembangunan karena membantu lingkungan juga," jawab Bobi.
Meskipun bekerja sebagai pemulung, Bobi berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga masuk kuliah. Ia menjelaskan bahwa kedua anaknya berhasil mendapatkan beasiswa selama berkuliah. Penghasilan yang ia dapatkan digunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari anaknya.
"Setelah lulus SMA, anak-anak dapat beasiswa. Tapi ya tetap ada keluar biaya untuk kebutuhan lainnya. Mereka sadar kalau pekerjaan saya seperti ini, sebisa mungkin kalau ada rezeki saya simpan untuk mereka," ujarnya.(*)