KETIK, SURABAYA – Mantan Kepala Bea Cukai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Eko Darmanto menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya secara online, Selasa (14/5/2024).
Eko yang dijerat dengan pasal gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) itu didakwa menerima uang dari para pengusaha dengan total nilai Rp23,5 miliar lebih selama menjabat sebagai Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan Kanwil Bea Cukai Jatim 1.
Dalam dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Luki Dwi Nugroho disebutkan, jika terdakwa sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN) telah menerima gratifikasi berupa uang keseluruhannya berjumlah
Rp23.511.303.640,24.
"Gratifikasi tersebut diterima dari beberapa pihak," ujarnya, Selasa (14/5/2024).
Terdakwa Eko menerima gratifikasi dari pihak antara lain, dari Andri Wirjanto sebesar Rp1,37 miliar, Ong Andy Wiryanto Rp6,85 miliar, David Ganianto dan Teguh Tjokrowibòwo sebesar Rp300 juta dan Lutfi Thamrin serta M Choiril sebesar Rp200 juta.
Lalu ada juga berasal dari Irwan Daniel Mussry Rp100 juta, Rendhie Okjiasmoko Rp30 juta, Martinus Suparman930 juta, Soni Darma Rp450 juta, Nusa Syafrizal melalui Ilham Bagus Prayitno sebesar Rp250 juta dan Benny Wijaya Rp60 juta.
Selain itu juga ada nama S Steven Kurniawan sebesar Rp2,3 miliar, Lin Zhengwei dan Aldo Rp204,3 juta. Serta ada pengusaha yang tidak diketahui namanya memberi Rp10,9 miliar.
Persidangan Mantan Kepala Bea Cukai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Eko Darmanto di Pengadilan Tipikor, Selasa (14/5/2024). (Foto: Khaesar/Ketik co.id)
Perbuatan terdakwa tersebut, jelas jaksa KPK, merupakan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Selain dijerat dengan pasal gratifikasi, terdakwa juga dijerat oleh komisi anti rasuah dengan pasal tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dalam kasus ini, terdakwa dianggap mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaannya tersebut merupakan hasil dari tindak pidana korupsi yaitu penerimaan gratifikasi, dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.
Yaitu dengan cara membelanjakan atau membayarkan atas harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi yaitu penerimaan gratifikasi tersebut atas nama sendiri atau pihak lain dengan maksud untuk menyamarkan asal usul harta kekayaannya karena tidak sesuai dengan profil penghasilan terdakwa sebagai pegawai negeri pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
"Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP," jelas jaka KPK lagi.
Menanggapi dakwaan jaksa ini, Pengacara terdakwa, Gunadi Wibakso mengaku tidak akan mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Ia pun lebih memilih untuk langsung melakukan pembuktian.
"Tidak (eksepsi) langsung dilanjutkan dengan pembuktian," ujarnya.
Penyidik KPK pada Jumat (8/12/2023) resmi menahan mantan Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto, setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Eko Darmanto (ED) diduga telah menerima gratifikasi sebesar Rp18 miliar dengan memanfaatkan jabatannya di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menerangkan ED adalah penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) pada Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang pernah menduduki sejumlah jabatan selama periode 2007-2023.
Beberapa jabatan strategis ED di antaranya Kepala Bidang Penindakan, Pengawasan, Pelayanan Bea dan Cukai Kantor Bea dan Cukai Jawa Timur I Surabaya dan Kepala Sub Direktorat Manajemen Resiko Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea dan Cukai.
ED kemudian memanfaatkan jabatan dan kewenangannya untuk menerima gratifikasi dari para pengusaha impor ataupun pengusaha pengurusan jasa kepabeanan (PPJK) hingga pengusaha barang kena cukai.
Menurut penyidik KPK, ED mulai menerima gratifikasi pada 2009 melalui transfer rekening bank keluarga inti dan berbagai perusahaan yang terafiliasi dengan ED. Penerimaan gratifikasi ini berlangsung hingga tahun 2023.
Untuk perusahaan yang terafiliasi dengan ED, di antaranya bergerak di bidang jual beli motor Harley Davidson dan mobil antik serta yang bergerak di bidang konstruksi dan pengadaan sarana pendukung jalan tol.
Berbagai penerimaan gratifikasi tersebut tidak pernah dilaporkan ED ke KPK setelah menerima gratifikasi dalam waktu 30 hari kerja.
Atas perbuatannya ED disangkakan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (*)