KETIK, MALANG – Sosok inspiratif, Dahlan Iskan mengunjungi Universitas Ma Chung untuk hadir dalam Ma Chung Talk: Belajar dari Tiongkok. Mantan Menteri BUMN itu menyampaikan pentingnya ilmu pengetahuan yang membuat Tiongkok menjadi salah satu negara terbesar di dunia.
Saat ini, ideologi Komunisme di Tiongkok telah mengalami perubahan dan fleksibel terhadap perkembangan zaman. Bukan hanya menyangkut buruh dan tani, Komunisme Tiongkok telah menyatukan pengusahan dan ilmu pengetahuan.
"Kalau Komunisme saja memasukkan ilmu pengetahuan sebagai soko guru, apalagi universitas. Di Tiongkok, sesuatu yang tidak cocok dengan ilmu pengetahuan, tidak boleh dilakukan," ujar Dahlan Iskan pada Jumat (8/9/2023) malam.
Hal yang mengejutkan juga terlontar dari mulut Dahlan Iskan. Menurutnya ilmu pengetahuan di Tiongkok saat ini lebih mengutamakan sains, teknologi, engineering, dan matematika. Berbeda dengan kampus di Indonesia yang memiliki banyak fakultas sosial humaniora.
"Bisakah kita tidak melaksanakan apa yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan. Tugas perguruan tinggi adalah untuk memajukan ilmu pengetahuan supaya manusia mengandalkan otak, bukan tahayul, dan sebagainya. Saya lihat di Indonesia terlalu banyak fakultas sosial, ini sulit kalau kita ingin belajar dari Tiongkok," serunya.
Saat mulai membuka diri dengan dunia luar, Tiongkok akhirnya gencar mengirimkan mahasiswa ke luar negeri. Hingga bermunculan dosen-dosen baru lulusan Amerika untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Tiongkok.
Menurut Dahlan Iskan, hal tersebut perlu dicontoh, terutama oleh Universitas Ma Chung. Meningkatkan kerjasama dengan Tiongkok merupakan peluang besar bagi Universitas Ma Chung untuk menjadi kampus yang unggul.
"Kerjasama dengan perguruan tinggi di Tiongkok atau negara lain dalam bentuk pertukaran pelajar bisa dilakukan. Saya yakin Ma Chung sudah berfikir ke arah situ. Mungkin untuk tahap pertama bisa kuliah tiga tahun di Ma Chung dan sisa satu tahun di Tiongkok," tambahnya.
Sementara itu, Novi Basuki selaku penulis dan peneliti Budaya Tiongkok sependapat dengan Dahlan Iskan. Menurutnya perubahan paling besar yang dilakukan oleh Tiongkok adalah dengan memerdekakan pikirannya.
"Kita dulu kenal Tiongkok disebut Negeri Tirai Bambu karena tertutup dan miskin karena ketertutupannya itu. Pada tahun 1978 akhirnya disadari bahwa pimiran yang tertutup dan tidak terbuka tidak akan membawa Tiongkok bisa maju. Saat reformasi dilakukan, banyak kalangan mempertanyakan bagaimana Tiongkok nanti, jika dibuka dan menjadi negara kapitalis," jelas Novi.
Namun pada akhirnya, Tiongkok dapat menjadi negara maju dengan mempertahankan ideologi Kapitalismenya meskipun mengalami perubahan yang sangat besar.
Tak hanya itu, Tiongkok juga mengalami perubahan di bidang ilmu pengetahuan. Pada era kedinastian, ilmu sosial humaniora lebih diunggulkan oleh Tiongkok, mengingat kebanyakan warganya berkeinginan menjadi pegawai dinasti atau yang saat ini disebut PNS.
"Ketika Tiongkok akhirnya membuka diri, ilmu pengetahuan mereka lebih beralih ke saintek. Menurut mereka ilmu sains, teknologi, engineering, dan matematika, sedang banuak dibutuhkan bagi perkembangan zaman saat ini. Tapi bukan berarti ilmu humaniora tidak penting," ungkap Novi.(*)