KETIK, PACITAN – Kopi hasil panen petani di lereng Gunung Lanang, Desa Punjung, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, berpotensi menjadi komoditas andalan daerah.
Sebab, komoditas kopi milik warga ini menghasilkan cita rasa unik dan khas, yaitu perpaduan antara rasa gurih, dan aroma khas laiknya susu vanilla.
Perkebunan itu, secara utuh memiliki luas lahan berkisar 3 hektar, terbagi di beberapa lahan pribadi warga. Tak main-main, puluhan ton didapati sewaktu musim panen tiba dua kali dalam setahun.
Keunikan kopi lereng Gunung Lanang disebabkan oleh proses pembudidayaannya, yaitu dengan sistem sambung pucuk.
Cara ini dinilai membuat rasa kopi lebih nikmat, pun menghasilkan produksi kopi yang melimpah dibandingkan dengan cara konvensional.
Salah seorang petani kopi yang menerapkan strategi tersebut ialah Kateni (78) asal desa tersebut. Dirinya telah memulai usaha perkebunan kopinya sejak tahun 2005 silam.
"Sistem stek (sambung pucuk) ini memang membutuhkan ketelitian dan ketelatenan," kata Kateni (78), saat ditemui di kebunnya, Rabu (13/12/2023).
Dalam sistem sambung pucuk, cabang kopi yang sehat dan berukuran sekitar 10-15 cm dipotong secara miring. Selanjutnya, sambung dengan tanam utama dan bungkus menggunakan plastik.
Selama kurun waktu dua minggu, pupuk kompos atau pupuk kandang harus rutin diberikan untuk membantu pertumbuhan tanaman. Bila tumbuh baik, artinya tanaman kopi berhasil dilakukan penyetekan.
"Jika gagal perlu dicoba lagi. Itu yang lebih bagus sambungannya menggunakan kopi berjenis Robusta," kata Kateni.
Kateni mengungkapkan, setiap kopi memiliki rasa yang kuat dan pahit masing-masing. Namun, dengan sistem sambung pucuk, rasa kopi dapat menjadi lebih gurih dan aromatik, disusul daya tahannya lebih kuat.
"Beberapa pembeli mengaku. Aromanya seperti susu vanilla saya pun juga bingung," ujar Kateni, sesuai pernyataan para konsumen.
Petani Kopi Sambung Pucuk, Kateni (78) asal Dusun Krajan, Desa Punjung, Kebonagung, Pacitan. (Foto: Al Ahmadi/Ketik.co.id)
Pada musim panen 2023, dengan luas kebun sekitar satu hektar, Kateni berhasil memanen sekitar 1 ton kopi. Kopi siap tumbuk dijualnya dengan harga Rp45 ribu per kilogram.
"Alhamdulillah, untuk panen saya sendiri, sekitar 38 karung, per karung bobotnya sekitar 28 kilogram. Kisaran 1 ton lebih dalam satu kali panen, satu kilonya dihargai Rp 45 ribu," ungkapnya.
Tantangan, Hambatan dan Potensi
Di balik itu, masalah keterbatasan pupuk masih menjadi tantangan serius bagi petani kopi setempat. Apalagi, pupuk kandang masih mampu menunjukkan kadar nutrisi yang menyamai pupuk anorganik.
Alternatifnya, Kateni menggunakan pupuk kandang yang dibakar untuk dijadikan sekam guna dapat mencukupi nutrisi pohon kopi miliknya."Kalo hanya pupuk kandang, jelas tidak mampu untuk membuat tanaman tumbuh baik," ujarnya.
Selain itu, belum adanya keberadaan alat produksi, seperti mesin pemecah kopi basah, mesin pengupas kulit kopi kering turut menyulitkan para petani setempat. Akhirnya, membuat para petani kopi terpaksa harus menggiling kopi di luar wilayah.
"Jadi kalau pas musim panen cukup susah, kami menggiling kopinya ke tempat Penggilingan, di Desa Gembuk, Kecamatan Kebonagung. Jadi dari rumah diangkut keranjang muat tiga sampai empat karung kopi, terus dibawa menggunakan motor," keluhnya.
Ditanya progres ke depan, pihaknya mengaku belum siap untuk melakukan pengembangan kedepan. Harapannya, pemerintah dapat segera mengatasi hambatan dan tantangan bagi petani kopi setempat.
"Butuhnya pupuk sama gilingan kopi. Itu biar kami tidak perlu jauh untuk menggiling ke desa lain ketika panen," pintanya.
Untuk itu, perhatikan dari pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan. Mengingat, kopi lereng Gunung Lanang berpotensi menjadi salah satu komoditas unggulan Desa Punjung bahkan di Kota Seribu Satu Gua itu.
Komoditas kopi tersebut dapat memberikan manfaat ekonomi bagi petani dan warga setempat Serta, dapat memajukan perekonomian warga setempat melalui pengembangan komoditas kopi hingga sektor pariwisata Gunung Lanang. (*)