KETIK, MALANG – Ketika memasuki kawasan Alun-alun Tugu sebelum dilakukan revitalisasi, akan ditemukan tiga bongkah batu andesit dengan ukiran nama. Rupanya tiga batu berbentuk kubus tersebut digunakan sebagai bangku yang memiliki kisah unik.
Terdapat nama seperti Tonko Oosterhuis, Johan Oosterhuis, dan Yan Oosterhuis di tiap batu. Mereka bertiga merupakan anggota keluarga yang sangat mencintai Kota Malang.
Tonko Oosterhuis merupakan tentara KNIL yang pernah bertugas di berbagai tempat, mulai dari kepulauan Alor Kalabahi, Waingapu, Cimahi, Surabaya, Samarinda, hingga akhirnya ditempatkan di Batalyon Infanteri 8 Rampal di Malang.Pada tahun 1925, Tonko menikahi Aletta Toepa saat bertugas di Waingapu.
Namun pada tahun 1942, invasi Jepang membuat Tonko ditahan di Surabaya. Istri dan anak-anak Tonko dikumpulkan di tempat Interniran di Jalan Welirang Street 43. Hingga Tonko oleh Jepang dikirim ke Pulau Seram Ambon untuk kerja romusha membangun lapangan terbang.
Tonko Oosterhuis dan Aletta Toepa (foto: https://oorlogsgravenstichting.nl/)
Tonko meninggal pada tahun 1943 di Teluk Ambon saat kepulangannya ke Surabaya usai romusha.
Batu selanjutnya, bertuliskan nama Johan Oosterhuis, anak sulung Tonko dan Aletta. Batu tersebut sebagai kenangan Johan yang pernah ditahan di lapas Lowokwaru dan meninggal pada bulan Juni 1945. Ia ditangkap oleh pasukan Jepang karena dianggap sebagai mata-mata.
Batu terakhir bertuliskan Jan Oosterhuis, yang meninggal pada tahun 2003. Diketahui bahwa penyebab Jan meninggal ialah serangan jantung ketika reuni keluarga.
Pemerhati Sejarah dan Cagar Budaya, Tjahjana Indra Kusuma mengatakan keluarga besar Oosterhuis dari Belanda membuat bangku tersebut sebagai kenangan dan bentuk cinta Tonko terhadap Malang.
"Mereka mohon ijzn memasang bangku ini ke DKP atau sekarang disebut DLH. Karena kan ini tempat umum," ujarnya.
Dijelaskan bahwa pemasangan ketiga bangku tersebut disesuaikan dengan garis imajiner tata ruang kawasan tersebut. Rupanya bangku tersebut dirancang oleh Luiz Wilson yang masih satu kerabat dengan Aletta Toepa.
"Ada sumbu imajiner dari Balai Kota Malang, Alun-alun Tugu, sampai Idenburgstraat atau saat ini Jalan Suropati, itu satu garis. Dua bangunan yaitu HBS dan komplek militer itu didesain tinggi atapnya sama, 12 meter. Itu memang masuk didesain tata kota, seperti koridor. Dulu juga belum ada Tugu, hanya air mancur," ujarnya.
Bahkan saat pemasangan ketiga bangku tersebut keluarga besar turut datang ke Malang untuk menyaksikan. Kini ketiga batu tersebut terpaksa terimbas proyek revitalisasi Alun-alun Tugu.(*)