KETIK, SORONG – Keluarga besar Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Papua Barat Daya beserta para kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sorong melaksanakan nonton bareng atau nobar film 'Lafran' di Cinema XXI Ramayana Kota Sorong. Jumat, 21 Juni 2024.
Film tersebut mengangkat cerita tentang tokoh pendiri HMI, Lafran Pane serta perjalanan dan tantangan saat HMI didirikan pada 5 Februari 1947 silam di Kampus Sekolah Tinggi IsIam (STI), yang kini menjadi Universitas IsIam Indonesia (UII). Kala itu, HMI sebagai organisasi mahasiswa IsIam pertama di Indonesia yang tidak berafiliasi dengan ormas dan partai politik manapun.
Lafran Pane digambarkan merasa ada yang kurang dari mahasiswa kala itu. Karena gerakan mahasiswa dianggap terlalu apatis dan hedonis terhadap perjalanan bangsa ini. Mahasiswa yang diharapkan oleh Lafran Pane adalah dapat menjadi agen kontrol dalam mengawal jalannya perjalanan bangsa Indonesia. Mahasiswa yang independen yang tidak bisa di intervensi oleh siapapun dan oleh pihak manapun.
Disinih cikal bakal HMI dibentuk. Karena independensinya, Lafran Pane bersama teman-temannya mulai mendirikan HMI di kampus STI dimana anggota HMI saat itu hanya berjumlah 13 orang saja.
Dalam film tersebut diceritakan tentang awal mula pendirian HMI yang mendapat tantangan, mulai dari pengaruh Belanda pada masa itu dan kondisi mahasiswa IsIam yang masih belum memahami dan mengamalkan ajaran IsIam hingga mendapat ejekan dari sesama teman-teman mahasiswanya. Mereka mempertanyakan, kenapa mesti ada lagi organisasi yang bernama HMI.
Setelah menonton film Lafran, Ketua Presidium KAHMI Papua Barat Daya, Bustamin Wahid mengatakan relevansi film Lafran tentang perjuangan HMI di tanah Papua. Bahwa orang tua Lafran adalah pejuang Sarikat Islam (SI) dimana anggota SI saat itu didominasi oleh kader-kader HMI. Karenanya, untuk mengisi kemerdekaan dan merebut kembali Irian Jaya saat itu adalah bagian dari perjuangan HMI.
"Film ini bukan hanya untuk kader HMI semata tetapi ada pesan terhadap nilai-nilai perjuangan kepada semua generasi dalam perjalanan dan tarik ulur sejarah bangsa ini," ungkap Bustamin Wahid.
Bustamin Wahid menjelaskan film ini hadir untuk memberikan dua pesan yang serius tentang nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan.
"Yang menjadi catatan menarik adalah soal tanah Papua yang masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah bagian dari perjuangan Sarikat Islam yang notabenya di sisi oleh kader-kader HMI," pungkas Bustamin. (*)