KETIK, SIDOARJO – Pengadilan Tipikor Surabaya memeriksa lagi saksi-saksi perkara pemotongan insentif PNS di BPPD Sidoarjo pada Senin (8/7/2024). Mereka diperiksa untuk terdakwa Siska Wati, mantan Kasubag Umum di BPPD Sidoarjo. Sidang ini, antara lain, mengungkap kepada siapa saja hasil pemotongan insentif itu mengalir.
Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Ni Putu Sri Indayani di ruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya di Jalan Raya Juanda. Ini sidang kedua pemeriksaan saksi-saksi setelah sidang Senin lalu (1/7/2024). Terdakwa Siska Wati tetap didamping oleh pengacara Erlan Jaya Putra.
Tiga saksi yang dihadirkan pada Senin (8/7/2024) adalah Ahadi Yusuf (mantan sekretaris BPPD Pemkab Sidoarjo periode 2020—2021 dan sudah pensiun 2023 lalu), Sulistioyono (Sekretaris BPPD Sidoarjo 2021 sampai sekarang), serta Rahma Fitri Kristiani (mantan Kasubbag Umum BPPD Sidoarjo atau pejabat sebelum Siska Wati).
Sidang itu mengungkap lagi modus pemotongan insentif pegawai negeri sipil (PNS). Ada yang dipotong sekitar Rp 13 juta, bahkan Rp 25 juta setiap insentif dicairkan. Yaitu, setiap 3 bulan sekali. Nilainya bergantung pada perolehan instentif masing-masing pegawai.
Ketika ditanya hakim apakah parameter penilaian pemotongan, ketiga saksi menjawab tidak tahu. Yang mereka tahu adalah pemberian insentif untuk pegawai BPPD diatur dalam SK Bupati Sidoarjo. Pencairannya dilakukan dengan Peraturan Bupati Sidoarjo. Jumlah pencairan sesuai target pencapaian perolehan pajak.
Suasana sidang perkara pemotongan insentif pegawai BPPD Sidoarjo di Pengadilan Tipikor Surabaya Senin (8/7/2024). (Foto: Fathur Roziq/Ketik.co.id)
Jika perolehan pajak mencapai Rp 1 triliun atau lebih, para pegawai memperoleh 6 x gaji plus tunjangan. Pernah sampai 7 kali gaji plus tunjangan karena perolehan pajak mencapai Rp 1,2 triliun lebih. Namun, perolehan insentif tersebut kemudian dipotong.
Mengapa dipotong? Ahadi Yusuf, Sulistiyono, maupun Rahma masih mengaku tidak tahu persis. Mereka hanya tahu pemotongan insentif itu disebut sodakoh. Itu sudah berlangsung lama. Para pegawai BPPD Sidoarjo akhirnya terbiasa dengan sodakoh seperti itu. Tidak pernah bertanya lagi. Mereka pun menurut saja membayar setiap ada yang menagih pemotongan.
Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya terus berusaha mendalami mengapa ada pemotongan uang yang sudah menjadi milik pegawai.
Apakah ada pertanggungjawaban penggunaan dana sodakoh itu? Apakah ada suratnya sehingga jumlahnya ditentukan. Apakah ada permintaan bupati? Semua menjawab tidak tahu. Diam.
Jaksa pun ikut bertanya.
Kenapa pencairannya tidak ditransfer saja. Mengapa harus dibayar tunai? Padahal, uang insentif itu ditransfer ke rekening masing-masing pegawai. Kan bisa langsung ditransfer lagi. Tidak ada jawaban. Jaksa menduga itu hanya modus supaya pemotongan tidak ketahuan.
Hakim Tipikor bertanya lagi?
”Katanya sodakoh, kenapa ketika ada yang kurang kok ditagih?” Para saksi menjawab dengan senyum.
”Apakah Anda punya utang? Kenapa kok ditagih seperti punya utang?” Tidak ada jawaban yang jelas dari para saksi.
”Apakah Anda ikhlas uang Anda dipotong seperti itu? Yang katanya untuk sodakoh?” Ketiga saksi menjawab ragu-ragu antara ikhlas atau tidak. Saksi Ahadi Yusuf pun akhirnya mau menjawab.
”Karena sudah kesepakatan soal pemotongan itu, saya lama-lama ikhlas dengan potongan itu. Daripada saya kepikiran,” ungkap Ahadi Yusuf.
Jika ditotal, jumlah pegawai yang insentifnya dipotong mencapai 90 orang. Masing-masing 60 berstatus aparatur sipil negara (ASN). Sisanya bukan ASN. Jika ASN bisa dapat 6 x gaji+tunjangan, pegawai yang non ASN dapat hanya 1 x gaji. Itu belum dipotong. Pemotongan ASN antara 10 sampai 30 persen setiap 3 bulan sekali insentif cair.
Berapa hasil pemotongan yang terkumpul? ”Sekitar Rp 500 juta sampai Rp 600 juta setiap triwulan,” terang saksi Ahadi Yusuf yang dibenarkan oleh saksi Sulistiyono. Mereka mengaku tidak tahu persis untuk apa saja uang tersebut digunakan. Yang tahu hanya Kepala BPPD Sidoarjo Ari Suryono.
Ahadi Yusuf dan Sulistyono cuma mencontohkan uang itu pernah digunakan untuk kebutuhan Agustusan. Lomba-lomba di dalam instansi BPPD. Ada pula permintaan bantun dari OPD lain. Adapun saksi Rahma Fitri mengaku ada Rp 50 juta yang disiapkan untuk biaya operasional. Sisanya dia tidak tahu. Menurut informasi, ada berbagai pihak yang sering minta sumbangan. Biasanya uang pemotongan insentif digunakan untuk itu.
”Untuk kegiatan-kegiatan yang tidak ada anggarannya,” ungkap para saksi hampir senada.
Jaksa, hakim, dan penasihat hukum terdakwa terus mengejar ke mana saja aliran uang potongan insentif itu. Terbongkarlah kemudian pengakuan bahwa ada aliran dana ke salah satu aparat penegak hukum (APH). Nilainya mencapai Rp 300 juta.
Ketika ditanya oleh hakim, Sekretaris BPPD Sidoarjo Sulistiyono semula tidak mau menyebut nama APH yang dimaksudkan. Dia hanya mengaku pernah diminta Kepala BPPD Ari Suryono untuk mengumpulkan uang Rp 100 juta. Kemudian ada permintaan lagi Rp 200 juta. Jadi, total APH itu meminta Rp 300 juta.
Hakim Pengadilan Tipikor pun lantas bertanya. Memberikan satu clue untuk Sulistyono.
”Lha itu Andri itu, nama Andri itu siapa?” tanya hakim.
Barulah Sulistyono mengakui bahwa Andrie itu adalah nama seorang pejabat intelijen di APH. Uang itu diserahkan oleh Surendro, seorang pemeriksa pajak di BPPD Sidoarjo.
Untuk yang Rp 100 juta, para kepala bidang (Kabid) dan sekretaris di BPPD Sidoarjo urunan masing-masing Rp 25 juta. Untuk yang Rp 200 juta, mereka urunan lagi. Para Kabid dan sekretaris urunan Rp 25 juta. Kepala-kepala seksi (Kasi) urunan juga masing-masing Rp 12,5 juta. Sampai terkumpul Rp 300 juta.
Erlan Jaya Putra, penasihat hukum terdakwa Siska Wati, meminta semua penerima uang tersebut diusut. Siapa saja yang mendapat aliran dana itu diungkap. Kalau perlu dijadikan tersangka. Atasan Siska Wati, pejabat samping, atau siapa saja. KPK harus membuka ini dan menjadikan mereka tersangka. (*)