Kondisi Provinsi Jawa Timur mencerminkan keanekaragaman, baik itu keragaman sosial budaya, agama, suku, ras, etnis, bahasa, adat istiadat, dan ekonomi. Jawa Timur dilihat dari konteks kepentingan politik perbedaan antara satu dengan yang lainnya dapat memunculkan potensi conflict of interest di antara mereka.
Menurut catatan BPS jumlah penduduk Jawa Timur pada tahun 2023 sebanyak 41.416.407 orang dengan memeluk agama Islam sebanyak 39,85 juta jiwa (97,21%), 683,72 ribu jiwa (1,67%) agama Kristen, 276,88 ribu jiwa (0,68%) Katolik , 105,35 ribu jiwa (0,26%) beragama Hindu, 72,05 ribu jiwa (0,18%) beragama Budha, dan sebanyak 2,14 ribu jiwa (0,01%) beragama Konghucu, aliran kepercayaan sebanyak 2,32 ribu jiwa (0,01%).
Sedangkan dilihat dari suku bangsa adalah Suku Jawa, suku Madura, Suku Osing, Suku Bawean, Tengger dan Samin. Belum lagi dengan adanya budaya Madura, mataraman, budaya mendalungan.
Dari keanekaragaman tersebut dapat berjalan baik dan harmonis jika mempunyai pemimpin Jawa Timur yang dapat menerapkan manajemen strategik kepemimpinan yang baik. Saya ingat apa yang dikatakan oleh Prof. Siti Zuhro (2023) dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bahwa NKRI dibangun tidak untuk menyeragamkan kebijakan, melainkan untuk menghormati eksistensi keragaman, baik aneka ragam suku bangsa, budaya.
Keanekaragaman, melainkan merupakan satu kesatuan yang kontinum (integral, tak terpisahkan dalam wadah Indonesia). Dari kondisi Jawa Timur yang beranekaragam tersebut, konsep kepemimpinan strategik yang bagaimana yang dapat bertahan dan dapat diterima semua pihak?
Harmonisasi
Khofifah sebagai pemimpin Jawa Timur nampaknya berideologi pluralism. Keberhasilannya dalam memimpin Jawa Timur dikarenakan mempunyai sikap dan keyakinan bahwa perbedaan dalam pandangan, agama, kepercayaan, etnisitas, budaya, dan latar belakang sosial adalah sesuatu yang bernilai dan penting dalam masyarakat.
Khofifah menghargai keanekaragaman tersebut. Jatim terdiri dari berbagai budaya, seperti budaya mataraman yang berkembang subur di daerah Blitar, Kabupaten Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Trenggalek, Madiun, Ponorogo, Pacitan dan Ngawi, dan Bojonegoro. Budaya Madura berkembang di daerah Madura, dan daerah pendalungan yaitu, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan sebagian di daerah lainnya. Budaya osing yang berkembang di Banyuwangi, sedangkan Budaya arek berkembang di sebagaian Jombang, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Gresik dan sebagian Jombang.
Khofifah juga mampu merawat keanekaragaman agama, keyakinan di Jawa Timur tersebut. Di tengah-tengah perbedaan akan agama dan kepercayaan penduduk Jatim, Khofifah mampu mengembangkan sikap toleransi yang tinggi. Tidak itu saja secara langsung memberikan teladan bagi penduduknya.
Khofifah tentunya punya darah/jiwa NU yang menjunjung tinggi dan mempunyai sikap menghargai pluralisme untuk menciptakan toleransi di Jawa Timur. Khofifah melakukan kunjungan ke berbagai tempat budaya dan bersilahturahmi dengan tokoh-tokoh agama. Sebagai contoh, Gubernur Khofifah pada waktu wafatnya Uskup Sutikno pada tanggal 12 Agustus 2023 mendatangi langsung di Katedral Jl. Polisi Istimewa Surabaya untuk turut belasungkawa atas wafatnya pimpinan umat Katolik tertinggi di Jawa Timur tersebut.
Selain itu Khofifah juga sangat peduli terhadap berbagai agama dan kepercayaan yang ada di Jawa Timur. Seperti tanggal 2 Juni 2023 pada saat menjelang Waisak mengunjungi ke Maha Vihara Majapahit yang ada di Mojokerto, dan masih banyak kunjungan keagamaan lainnya.
Khofifah sebagai pemimpin birokrasi di Jawa Timur mampu menjadi dirigen yang baik, dan sebagai pimpinan politik mampu mengharmonisasikan kondisi masyarakat yang beranekaragam. Khofifah sangat memahami dan punya kepedulian besar terhadap pluralisme dan multikulturalisme yang hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa Timur.
Tidak salah jika masyarakat Jawa Timur mempunyai pandangan bahwa Khofifah mempunyai filosofi seperti yang ditafsirkan oleh Sarurin (2005) sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok-kelompok kebudayaan dengan hak status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern.
Atas kepedulian Khofifah yang mau merawat terhadap kerukuman umat beragama, dalam praktek keagamaan di Jawa Timur tidak terjadi konflik antar agama maupun konflik antar suku, justru yang terjadi saling menghargai, menghormati satu sama lain. Sebagai salah satu bukti kecil, di tengah-tengah keanekaragaman tersebut, Khofifah mampu menciptakan iklim toleransi yang tinggi dengan mendatangi tempat ibadah, sehingga selama kepemimpinnnya konflik budaya dan konflik keyakinan di Jawa Timur nyaris tidak terjadi.
Sebagai contoh Jawa Timur semakin tumbuh tingkat toleransinya. Hal ini dapat diwakili Kota Kediri yang pada tahun 2022 masuk peringkat lima kota toleran di Indonesia, dengan indeks nilai 5,850 naik sebelumnya tahun 2021 yang berada di urutan ke 10 dengan nilai 5,733. (SETARA Institut, 2023).
Kepemimpinan Masa Depan
Dengan melihat kepemimpinan Khofifah menjadi Gubernur, ia cocok dalam membangun Jawa Timur masa kini maupun masa depan. Masyarakat minoritas merasa dirangkul, diayomi dan diperlakukan adil. Demikian juga sebaliknya masyarakat mayoritas merasakan adanya hubungan yang harmoni dengan saudaranya yang dianggap minoritas.
Karakter Khofifah dibutuhkan untuk memimpin Jawa Timur. Hal ini sejalan dan sepaham dengan konsep pluralisme dan multikulturalisme Adelia Norain, dkk, (2013), bahwa pluralisme dan multikulturalisme bukan lagi sebuah wacana, melainkan sebagai sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri yang terpisah dari ideologi-ideologi lainnya (Adelia Norain, dkk, 2013).
Secara konseptual, tentunya Khofifah sebagai pemimpin Jawa Timur memahami bahwa multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep lain seperti konsep politik, sosiologis, psikologi dan lainnya untuk dijadikan referensi mengembangkannya dalam kehidupan bermasyarakat Jawa Timur di masa depan.
Selain Khofifah memahami dan mengimplementasikan konsep pluralisme juga mampu memadukan berbagai budaya yang tumbuh di Jawa Timur seperti budaya mataraman yang dikenal dengan perilakunya yang halus, penuh teposeliro, gotong-royong, memegang sopan-santun, menghargai dan menghormati senioritas baik dari sisi usia maupun status seseorang, budaya Madura yang dikenal hemat, disiplin, etos kerja yang tinggi, menjunjung harga diri, ikatan persaudaraan yang kuat, keterbukaan dll.
Kemampuan Khofifah untuk mengelaborasi ekosistem kultural tidak diragukan lagi. Terbutki dengan kepemimpinannya selama ini Jawa Timur tidak ada benturan kultur, apalagi konflik. Justru diantara mereka di tingkat elit maupun non elit saling berkomunikasi, saling memahami dan menghargai, bertoleransi antara kepercayaan ataupun kultur yang satu dengan yang lainnya.
Di tengah-tengah masyarakat Jawa Timur yang semakin maju, dan di lain pihak masyarakat Jawa Timur yang pluralis dan multikultur di masa depan tetap dibutuhkan seorang pemimpin yang berwawasan luas, menguasai manajemen strategik, dapat memajukan bidang IPTEK, sumber daya alam dan manusia, ekonomi, mampu mengelaborasi eksosistem kultural dan menciptakan harmonisasi segala aspek kehidupan di Jatim. Semoga.
*) Prof. Dr. Irtanto, M.Si adalah Peneliti Ahli Utama Bidang Politik dan Pemerintahan
**) Karikatur by: Rihad Humala/Ketik.co.id
***) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id. Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
Panjang naskah maksimal 800 kata
Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
Hak muat redaksi