KETIK, MALANG – Warga yang melintas di Kecamatan Pujon Kabupaten Malang Jawa Timur tentu tidak asing dengan monumen yang ada di Desa Pandesari Kecamatan Pujon. Monumen yang tepat berada di depan kantor Kecamatan Pujon itu menggambarkan seorang pejuang sedang membopong rekan seperjuangannya yang telah gugur. Sementara di belakangnya, seorang pejuang tengah bersiap dengan senjata mengacung. Sedangkan di belakang mereka terdapat sebuah mobil Jeep.
Monumen tersebut dibangun untuk mengenang perjuangan mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia dalam agresi militer Belanda. Tepat di seberang jalan monumen tersebut juga ada sebuah tugu bertuliskan Statuz Quo Lijn atau Garis Status Quo.
Tugu tersebut dibangun sebagai batas garis demarkasi wilayah kekuasaan Belanda pasca Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Atau juga disebut Garis Van Mook.
Pembagian wilayah kekuasaan dari hasil Perjanjian Renville dimulai dari garis batas status quo itu. Di mana wilayah Pujon, Kasembon, Ngantang hingga Yogyakarta ditetapkan sebagai wilayah Republik Indonesia. Sebaliknya, Pujon ke timur termasuk Malang hingga Banyuwangi merupakan daerah kekuasaan Belanda.
Menurut Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum, berdasarkan isi perjanjian ini, pada 19 Januari 1948 diinstruksikan penghentian tembak-menembak di sepanjang garis Van Mook pada wilayah Malang bagian barat.
"Garis khayal Van Mook tersebut membujur dari puncak Gunung Arjuno ke selatan hingga puncak Gunung Kawi. Garis ini merupakan garis status quo (Statusquo lijn) yang di daerah Malang barat berada di daerah Pandesari Pujon," tulisnya dalam buku Sejarah Daerah Batu, Rekonstruksi Sosio- Budaya Lintas Masa yang diterbitkan atas kerjasama Perpustakaan dan Kearsipan dan Dokumentasi Pemkot Batu.
Daerah yang bersebelahan dengan Statusquo lijn merupakan daerah penyangga yang harus dikosongkan dari kekuatan militer. Garis itu, kata Dwi, sekaligus menjadi garis demarkasi dari daerah yang berbeda penguasaannya berkenaan dengan wilayah pendudukan pasukan Belanda.
Ironisnya di tengah masa gencatan senjata, hampir setiap hari pasukan Belanda menembakkan meriam dan mortir ke daerah Pujon. Di samping itu, secara provokatif pasukan Belanda menyerang pos-pos keamanan di statusquo lijn.
"Puncak pelanggaran terjadi tengah hari tanggal 7 Desember 1948. Adapun penyebabnya adalah adanya patroli Belanda berkendara Jeep yang nyelonong masuk ke daerah wilayah Republik," tambahnya.
Patroli Belanda yang memasuki daerah republik tersebut mendapat teguran dari Agen Polisi Kelas II Kacung Permadi dari Detasemen Garjito yang tengah berjaga di pos statusquo lijn. Namun teguran itu malah menimbulkan perselisihan dan pertentangan. Pasukan Belanda bahkan menembak mati Kacung Permadi.
Beruntung segera datang bala bantuan dari pasukan pimpinan Letnan Moeljo Soewito; pasukan cadangan pertahanan wilayah Pujon Pimpinan Mayor Sunandar Prijosoedarmo serta rakyat setempat.
"Akhirnya berhasil dirampas Jeep senjata dan peralatan perang lainnya serta menewaskan tiga tentara Belanda. Sementara di sementara di pihak Republik gugur Kopral Kastawi anggota Kompi Moeljo Soewito," lanjut Dwi Cahyono.
Sebagai balas dendam atas kejadian itu, pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan aksi militer dengan menerobos status quo lijn. Dalam peristiwa itu gugurlah agen polisi kelas III Sudjadi. Untuk mengenang peristiwa heroik di Pujon tersebut, kini berdiri monumen perjuangan di lokasi pertempuran status quo lijn. (*)