KETIK, SURABAYA – Pertemuan Forum Dekan Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (Fordek AIPKI) menghasilkan beberapa rekomendasi. Salah satunya adanya transformasi kesehatan yang tidak hanya melibatkan aspek pelayanan medis, tetapi juga menuntut adanya inovasi dan peningkatan dalam pendidikan dokter.
Saat ini AIPKI telah mendiskusikan sekaligus menyelenggarakan berbagai program penguatan institusi. Salah satu yang menjadi tantangan selama ini yaitu retaker atau mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) yang susah lulus dalam Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD).
Pada pertemuan Fordek AIPKI kali ini menetapkan uji panel sebagai solusi baru untuk mempermudah para retakter membuktikan penguasaan kompetensi minimal.
Ketua AIPKI, Prof. Dr. dr. Budi Santoso, SpOG (K) menyampaikan bahwa perlu penegasan pada batas tertentu untuk retaker mahasiswa sebagai tanggung jawab institusi. Uji panel diharapkan dapat menemukan kemampuan clinical reasoning minimal yang diperlukan bagi seorang dokter.
“Selama ini masih banyak mahasiswa kedokteran yang belum mampu memenuhi kompetensi di tahap akhir, bahkan ada yang sampai 33x belum lulus retaker," katanya.
"Melihat permasalahan tersebut kami menetapkan adanya Uji Panel untuk mempermudah mendapat standar kompetensi minimal, hal tersebut juga berpengaruh terhadap kualitas dokter di Indonesia,” imbuh dr. Budi.
Selain menjalankan uji panel, AIPKI akan melakukan audiensi dengan Kementerian Kesehatan supaya ada batasan bagi mahasiswa profesi kedokteran. Hal tersebut agar tidak membebani institusi dan mempermudah mahasiswa retaker untuk lulus.
Saat ini, retaker dibatasi hingga 10x namun ke depan akan diperpendek menjadi 5x batasan.
Uji panel yang nantinya akan dilakukan merupakan uji studi kasus penyakit untuk menilai bukan hanya pemahaman akademik namun kemampuan praktek penyelesaian, hal ini juga untuk menilai passion mahasiswa sebagai seorang dokter nantinya.
Melihat hal tersebut, diperlukan juga adanya seleksi ketat awal pendaftaran kedokteran di beberapa institusi, tidak hanya pemahaman akademis tetapi juga kesiapan mental untuk menjadi seorang dokter.
Fordek AIPKI juga membahas mengenai pemerataan distribusi dokter di Indonesia yang belum maksimal.
Meningkatnya jumlah lulusan kedokteran tiap tahunnya, diperlukan upaya pemerataan untuk memperluas jangkauan pelayanan kesehatan, utamanya di daerah terpencil, namun juga perlu disertai dengan kebijakan pemerintahan pusat.
“Distribusi pemerataan juga menjadi concern kami saat ini. Hal ini sering menjadi kendala dan terindikasi di daerah-daerah terpencil. Kami juga perlu dukungan pemerintah dalam mengatur pendistribusian ini,” ujar Budi.
Berkaitan dengan pendirian fakultas kedokteran baru, sebaiknya dilakukan di luar pulau Jawa, Sumatera, dan Bali. Dengan demikian, keberadaan fakultas kedokteran akan lebih merata dan memenuhi rekomendasi.
Jika pendistribusian hanya berkutat di kota-kota besar, maka berapapun jumlah dokter tidak akan menyelesaikan permasalahan pelayanan kesehatan di Indonesia.
Dekan FK Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) sekaligus Bendahara AIPKI, Dr. Handayani, dr., M.Kes., mengungkapkan, selain pendistribusian yang merata, diperlukan pula dokter yang berkualitas dan berkompeten untuk bisa melayani masyarakat.
“Sebagai institusi pendidikan kedokteran, kami mensyaratkan kualitas tidak hanya sekadar kuantitas. (Tahun) 2024 ini telah ada 15 Fakultas Kedokteran baru, namun peningkatan FK baru setiap tahunnya juga tetap harus menjaga mutu pendidikan," tegasnya.
Diharapkan, hasil dari Fordek AIPKI 2024 dapat menjadi landasan bagi implementasi perubahan positif dalam pendidikan kedokteran di Indonesia. Kerjasama antar institusi, penerapan inovasi dalam proses pembelajaran, dan peningkatan kualitas pengajaran dapat menjadi titik fokus yang muncul dari diskusi ini.
Semua ini bertujuan untuk membentuk lulusan-lulusan yang tidak hanya memiliki pengetahuan medis yang mendalam tetapi juga keterampilan interpersonal dan kepemimpinan yang kuat, sesuai dengan tuntutan zaman yang terus berkembang. (*)