KETIK, JAKARTA – Upaya penyelamatan gempa yang mengguncang Turki dan Suriah masih terjadi. Sejumlah negara dan lembaga internasional terus mengirimkan tim evakuasi untuk membantu menyelamatkan korban yang tertindih reruntuhan gedung.
Sebelumnya diketahui, pusat gempa dengan magnitudo 7,8 itu berada di Kahramanmaras, Turki. Gempa terjadi karena gerakan Sesar Anatolia Timur, yang lokasinya berada pada tiga lempeng aktif bumi, yakni Lempeng Anatolia, Lempeng Arab, dan Lempeng Afrika.
Korban tewas akibat gempa dahsyat yang melanda Turki dan Suriah kini melampaui 21.051, Jumat (10/2/2023) pagi. Sebanyak 17.674 korban meninggal ditemukan di Turki sementara 3.377 di Suriah.
Angka korban diyakini masih akan bertambah. Mengingat banyaknya gedung yang runtuh dan dinginnya suhu yang membuat korban sulit bertahan di reruntuhan.
Lembaga Pemeringkat, Fitch melaporkan bahwa gempa bumi yang mengguncang Turki dan Suriah diprediksi menimbulkan kerugian ekonomi sebesar US$4 miliar. Ini sekitar Rp60,4 triliun (asumsi kurs Rp15.115/US$).
"Kerugian ekonomi sulit diperkirakan karena situasinya yang terus berkembang, tetapi tampaknya lebih dari US$2 miliar (sekitar Rp30,2 triliun) dan bisa mencapai US$4 miliar atau lebih," lapor Fitch Ratings.
Fitch melaporkan, kerugian yang diasuransikan akan jauh lebih rendah, yaitu sekitar US$1 miliar atau sekitar Rp15,1 triliun. Wilayah tersebut memiliki cakupan asuransi yang rendah.
Gempa yang melanda Turki menggugah sejumlah pemimpin dunia. Di antaranya Presiden Taiwan, Tsai Ing Wen dan Wakil Presiden William Lai.
Kedua mengumumkan akan menyumbangkan sebulan gajinya untuk membantu gempa Turki. Hal ini disampaikan kantor kepresidenan, Kamis kemarin.
"Presiden dan wakil presiden berharap dapat melakukan bagian mereka untuk membantu Turki membangun kembali tanah airnya secepat mungkin," kata kantor kepresidenan.
Turki, seperti kebanyakan negara, tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan yang diklaim China. Tetapi keduanya mempertahankan kedutaan de facto di ibu kota masing-masing dan ada penerbangan langsung antara Istanbul dan Taipei.
Sebelumnya, hal serupa juga dilakukan Tsai dan Lai, ke Ukraina untuk membantu pemulihan pasca perang. Mengutip laman yang sama, Tsai digaji sekitar US$ 13.300 (Rp 201 juta) sebulan
Bantuan ini juga menambah bantuan lain yang sudah dikirim sebelumnya. Taiwan, yang juga kerap mengalami gempa bumi, telah menyumbang US$ 2 juta dan mengirim dua tim penyelamat ke Turki untuk membantu mencari korban selamat.
Turki sebelumnya pernah bergabung dengan upaya internasional dan mengirim penyelamat ke Taiwan pada 1999. Ini setelah gempa besar menewaskan lebih dari 2.000 orang di pulau itu.
"Saya ingin berterima kasih kepada semua karena tidak takut akan kesulitan dan berusaha sekuat tenaga sehingga Taiwan dan Turki dapat saling membantu," tulis Tsai di halaman Facebook-nya.
Teknologi AS 'Dibalik' Gempa Turki?
Sejumlah teori konspirasi mengaitkan gempa Turki dengan High-frequency Active Auroral Research (HAARP) milik Amerika Serikat (AS).
Program adalah proyek bersama Angkatan Udara AS dan Angkatan Laut AS pada tahun 1993 dengan kendali dialihkan ke University of Alaska Fairbanks (UAF) pada tahun 2015.
Sebelumnya, sebuah postingan di Facebook mengungkap bahwa fasilitas riset HAARP di Alaska bisa mengendalikan cuaca bumi. "Caranya dengan menggunakan partikel logam bergetar di atmosfer dengan gelombang radio," demikian dikutip dari Canberra Times.
Postingan itu menyebut pesawat digunakan untuk menebar partikel di atmosfer, sebelum fasilitas HAARP mentransmisikan gelombang radio ke partikel. Dengan demikian mereka dapat mengubah cuaca.
Namun dalam update terakhir, para ahli mengatakan kepada AAP FactCheck bahwa HAARP tidak berdampak pada troposfer atau stratosfer tempat pesawat terbang dan cuaca terjadi. Disebutkan bahwa fitur utama HAARP adalah pemancar frekuensi tinggi yang digunakan untuk mempelajari ionosfer, bagian dari atmosfer atas bumi.
"Transmisi radio HF (frekuensi tinggi) berkaitan dengan interaksi dengan partikel terionisasi - elektron, di ionosfer, di atas ketinggian 100 km. Cuaca di permukaan tanah didorong oleh efek geofisika, sebagian besar pemanasan matahari, ke atmosfer netral yang jauh lebih dekat ke tanah," kata Profesor Fred Menk, seorang ahli ionosfer bumi dan magnetosfer dari University of Newcastle, menggambarkan klaim Facebook tersebut hanya omong kosong.
"Ada sejumlah besar pemancar HF secara global yang mengarahkan sinyal daya menengah atau tinggi ke ionosfer. Ini digunakan untuk penyiaran radio jarak jauh dan tujuan lain seperti pengawasan (radar) dan memantau keadaan ionosfer," tambahnya.
Erdogan di Ujung Tanduk?
Sementara itu, kemarahan warga Turki disebut mengarah ke Presiden Recep Tayyip Erdogan. Ini akibat lambannya tim evakuasi datang ke lokasi bencana.
Hal ini kemudian dikaitkan dengan pemilihan presiden pada 14 Mei mendatang. Gempa bisa memunculkan konsekuensi besar, tak hanya bagi populasi dan ekonomi Turki tapi juga perpolitikan Turki.
"Jika ada salah penanganan dalam upaya penyelamatan, masyarakat akan frustasi dan akan ada reaksi pergolakan," ujar pendiri Cribstone Strategic Macro, Mike Harris, dikutip dari CNBC International, Kamis (9/2/2023).
"Dan masalah lainnya tentu saja gedung-gedung yang telah runtuh. Sejauh ini dibangun di bawah kode baru dan pihak berwenang tidak memberlakukan peraturan. Mungkin ada pukulan serius bagi Erdogan sehingga ia kehilangan kendali atas narasinya," lanjut Harris.
Komentar senada juga dikatakan analis yang merupakan direktur program Turki di Institut Timur Tengah AS, Gonul Tol. Menurutny kemarahan terlihat jelas di Hatay, salah satu provinsi yang paling terdampak, di mana beberapa warga yang frustrasi mulai marah kepada Erdogan.
"Saya tidak bisa membayangkan dia (Erdogan) tidak terpengaruh oleh ini karena tingkat frustrasinya, saya melihat kemarahan itu secara langsung. Saya yakin itu akan berdampak," kata Tol.
Tapi juga membandingkan jumlah organisasi sipil yang membantu gempa besar 1999 dengan saat ini. Penurunan jumlah diyakini karena sikap represif Erdogan termasuk penahanan banyak orang dalam klaim kudeta gagal tahun 2016.
"Dua puluh tahun kemudian, kita tidak berada di tempat yang lebih baik. Erdogan tidak hanya melemahkan institusi negara tetapi dia juga melemahkan masyarakat sipil Turki," jelasnya. (*)