KETIK, SURABAYA – Sidang kasus korupsi dengan terdakwa anggota DPRD Jatim (non aktif), Sahat Tua P Simandjuntak kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya pada Selasa (11/06/2023). Dalam sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan lima orang saksi.
Mereka terdiri dari dua anggota DPRD Jatim dan sisanya dari kalangan swasta. Yakni Ketua Fraksi Gerindra, Muhamad Fawait (35) dan anggota Fraksi PDI Perjuangan, Wara Sundari Renny Pramana (62).
Dua saksi lain yakni Rini Puji Rahayu (47) dari money Changer dan Fachurozi (29) dari BRI Sampang. Sedangkan saksi Dimas Idam Ali tidak hadir dalam sidang tersebut.
Dalam sidang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPU) mencecar terkait proses hibah serta Ijon yang terjadi di DPRD Jawa Timur kepada Fawait serta Wara Sundari Renny Pramana.
Namun keduanya mengaku tidak mengetahui adanya plafon yang terkait penggunaan dana hibah pokok pikiran.
"Saya tidak tahu untuk adanya plafon itu, karena saat pembahasan itu saya memilih keluar tidak mengikuti pembahasan itu," ucap Fawait, Selasa (11/7/2023).
Jaksa kemudian menanyakan apakah Fawait mendapatkan undangan untuk pembahasan terkait adanya plafon untuk pembahasan dari Ketua DPRD Jatim.
"Betul pak jaksa saya diundang dan datang namun dalam rapat itu ada ketua, wakil ketua dan beberapa orang saya sempat tidak setuju untuk ikut rapat itu jadi saya memilih untuk keluar dari rapat itu," ucap Fawait.
Hal senada juga diungkapkan Wara Sundari Renny Pramana. Ia mengaku tidak mengatahui adanya plafon untuk pengajuan dana hibah pokir. "Saat itu saya tidak hadir dalam pembahasan itu," ucap wanita yang menjabat sebagai Ketua Komisi E.
Renny mengaku jika selama covid-19 lalu dirinya tidak aktif untuk ke DPRD Jatim untuk pengajuan dana hibah Pokir. "Jadi selama dua tahun itu saya sama sekali tidak mengajukan hibah apa pokir sama sekali," ucapnya.
Jawaban kedua anggota dewan ini membuat jaksa dari KPK, Ikhsan sempat ragu dan menggali lebih dalam kepada keduanya tentang plafon tersebut. "Apa benar saksi tahu atau tidak tentang plafon dari hibah? Karena kedua saksi sudah di ambil sumpah," ucap jaksa.
Kedua anggota DPRD Jatim ini kompak dan kekeh jika tidak mengetahui adanya plafon dari hibah. Jaksa kemudian menyinggung soal mekanisme hibah pokir yang dilakukan untuk pengajuan. "Biasanya dari aspirasi masyarakat nanti akan dilanjutkan dewan lalu ke eksekutif yang akan membahas mengenai hibah pokir tersebut," jawab Fawait.
Fawait mengaku jika dirinya hanya menyalurkan aspirasi atau mengusulkan hibah pokir ke dapil pemikihannya Lumajang dan Jember saja. "Saya tidak pernah menerima usulan pokir dari luar dapil saya," ucapnya.
Namun, jaksa dari KPK menunjukkan barang bukti hibah pokir yang menunjukkan jika Muhamad Fawait juga sempat mengusulkan beberapa daerah seperti Sampang, Pemekasan, Jombang, dan Kota Surabaya. "Ini ada nama saksi di dalam usulan pikir di berbagai daerah, apa hanya dapil anda saja," ucapnya.
Namun, Fawait bersikukuh juga dirinya tidak pernah mengusulkan daerah yang disangkakan. "Saya tidak pernah mengusulkan hibah pokir dari daerah dari daerah pemilihan saya sendiri," ucapnya.
Dalam data tersebut, ada sekitar Rp 1,9 miliar terdiri dari Rp750 juta di Sampang, Rp600 juta di Pamekasan, Rp350 juta di Jombang, dan Rp200 juta di Surabaya.
Setelah sidang, jaksa KPK Ikhsan mengatakan bahwa bukti mengenai pengusulan dana hibah Pokir kepada sejumlah anggota dewan, termasuk saksi Muhammad Fawait, merupakan data yang dikeluarkan oleh Bapedda.
Terkait dengan dana hibah Pokir di empat kota yang tidak diakui oleh saksi, Ihsan menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan penyelidikan lebih lanjut.
“Karena saksi Bapedda sudah memberikan keterangannya, kita tidak dapat mengkonfirmasi hal tersebut lagi. Yang pasti, akan kita telusuri lebih lanjut,” jelasnya. (*)