KETIK, SIDOARJO – Bagaimana masyarakat dapat berperan serta dalam mengawasi praktik peradilan sehingga bersih? Bagaimana pula publik bisa dan menjaga marwah hakim? Dua hal tersebut dibahas dalam diskusi selama dua jam di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) pada Kamis (29/8/2024).
Prodi Ilmu Hukum dan Kantor Penghubung Komisi Yudisial Jatim menggelar acara tersebut di ruang rektorat Umsida. Acara dimoderatori oleh advokat Anggit Satriyo Nugroho. Hadir tiga orang
pembicara. Mereka adalah Dr Rifqi Ridho Phahlevy (pakar hukum tata negara UMSIDA), Dr Iqbal Felisiano (pakar hukum pidana Unair), dan advokat senior Sudarto.
Sudarto mengungkapkan, pengawasan terhadap pengadilan dan hakim akan efektif apabila semua elemen terlibat. Kelompok eksternal harus terlibat dan diberdayakan. Mulai kampus, jurnalis, para advokat, hingga organisasi profesi.
”Semua harus mengawasi,” kata mantan aktivis LBH Surabaya itu. Para kelompok eksternal tersebut tak boleh hanya diam. Mereka harus kritis apabila melihat kenyataan yang tidak sesuai keadaan.
Sudarto menambahkan, putusan yang tidak adil menjadi perbincangan publik karena semua elemen turut mengontrol. Contohnya putusan perkara penganiayaan hingga meninggal yang melibatkan terdakwa Ronald Tannur.
”Bayangkan kalau semua diam, ya tentu keputusan yang tidak adil dan melukai perasaan hati masyarakat hanya terasa biasa saja,” ungkapnya. Elemen masyarakat harus terus mendengungkan hal tersebut agar semua perbaikan bisa dilakukan.
Rifqi Ridho menjelaskan, peran Komisi Yudisial harus diperkuat. Sebab, Komisi Yudisial adalah lembaga yang digariskan dan diatur kewenangannya oleh konstitusi.
Komisi Yudisial di Indonesia berbeda dengan Komisi Yudisial di Malaysia. Di Indonesia KY sekadar memberikan rekomendasi untuk menjatuhkan sanksi terhadap hakim yang melanggar etika profesi. Hal berbeda terjadi di Malaysia. Di sana, sanksi etik yang diberikan harus mengikat.
”Jadi, sanksi yang diberikan bisa memberikan efek perbaikan," terang Rifqi Ridho.
Dia menambahkan, di lain pihak peran KY dalam mewujudkan peradilan yang bermartabat bisa tercederai karena ada lembaga lain yang bisa mengamputasi kewenangannya.
"Ini yang menjadi persoalan. KY yang progresif bisa tidak berdaya," ucapnya.
Adapun Iqbal Felisiano menjelaskan bahwa perguruan tinggi harus diberikan ruang terlibat mengawasi peradilan. Para mahasiswa harus menjadi arus utama untuk melihat praktik peradilan yang melenceng itu.
Pendidikan tinggi hukum harus diarahkan untuk mencetak sarjana hukum yang kompeten. Tidak saja secara keilmuan, tapi juga kompeten secara moral dan etis.
”Bayangkan saja, ada mata kuliah etika profesi di kampus. Tapi, mahasiswa tidak paham bagaimana secara praktik. Mereka hanya tahu teorinya saja," katanya.
Padahal, lanjut Iqbal, produk pendidikan tinggi hukum itu adalah penyokong utama dunia peradilan itu sendiri. Mereka akan mewarnai dunia hukum dengan profesi yang ditekuni. Mulai hakim, jaksa, advokat, panitera, polisi dan banyak lagi.
Iqbal menjelaskan keterlibatan mahasiswa mengawasi praktik peradilan harus direplikasi di banyak daerah. Namun partisipasi tersebut, harus dibentuk melalui sistem partisipasi yang bermakna.
Kepala Kantor Penghubung KY Jawa Timur Dizar Alfarisi mengatakan bahwa saluran-saluran pengawasan telah diciptakan. Karenanya saluran itu harus dimanfaatkan. "Masyarakatlah yang harus mengisinya," katanya. (*)