KETIK, JAKARTA – Temuan transaksi janggal Rp 349 triliun oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ternyata bukan hanya di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Justru indikasi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terbesar Rp 253 triliun terjadi di perusahaan/badan usaha atau perorangan, disusul Aparat Penegak Hukum (APH) senilai Rp 74 trilian dan sisanya Rp 22 triliun di antaranya di Kemenkeu.
Penjelasan itu disampaikan Menkeu Sri Mulyani selaku bendahara negara di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, usai rapat dengan Menko Polhukam Mahfud MD dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (20/3/2023).
"Selama ini kami Kementerian Keuangan dengan PPATK dan Pak Menko sebagai ketua tim kita bekerja dan memiliki komitmen yang sama, untuk memerangi dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan korupsi," ujar Menkeu yang akrab disapa Ani itu saat konferensi pers.
Temuan transaksi janggal Rp 300 triliun PPATK di Kemenkeu yang diungkap Menko Polhukam Mahfud MD, sempat menggelinding bak bola liar.
Dampaknya Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan kementeriannya jadi sorotan berbagai pihak. Karena itu, Sri Mulyani berkepentingan untuk menjelaskan secara transparan rincian uang indikasi TPPU Rp 300 triliun yang kini berkembang menjadi Rp 349 triliun itu.
Sri Mulyani memaparkan, nilai temuan transaksi janggal yang nilainya Rp 349 triliun itu dari 300 surat temuan PPATK terkait TPPU yang datanya dikirimkan ke Kemenkeu pada periode 2009-2023.
Perlu diketahui, data laporan hasil analisis (LHA) itu dikirimkan oleh PPATK ke Kemenkeu, mengingat Kemenkeu merupakan salah satu penyidik tindak pidana asal, sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Mantan direktur Bank Dunia itu mengungkapkan dari total 300 surat terkait LHA yang disampaikan oleh PPATK, 65 di antaranya merupakan surat berisi transaksi keuangan dari perusahaan atau badan usaha atau perseorangan nilai indikasi TPPU mencapai Rp 253 triliun.
Sebanyak 99 surat lainnya, lanjut Sri Mulyani, merupakan temuan PPATK yang dikirimkan kepada aparat penegak hukum (APH) dengan nilai transaksi Rp 74 triliun.
Dari 300 surat PPATK, sekitar 135 surat terkait transaksi mencurigakan yang dikirimkan ke Kemenkeu, yang di dalamnya juga berkaitan dengan pegawai Kemenkeu.
"Nilainya jauh lebih kecil, karena yang tadi Rp 253 triliun plus Rp 74 triliun itu sudah lebih dari Rp 300 triliun," kata ekonom dan ahli moneter alumnus Universitas Indonesia itu.
Pernyataan Sri Mulyani ini untuk mengungkap ke publik bahwa indikasi transaksi yang janggal di Kemenkeu tak sebesar yang beredar selama ini Rp 300 triliun. Namun Sri Mulyani tak mengungkapkan secara detail nilainya.
Bila indikasi TPPU di perusahaan/badan usaha atau perorangan Rp 253 triliun plus Rp 74 triliun transaksi janggal di APH, maka sisanya Rp 22 triliun. Nah, berapa dari Rp 22 triliun ini yang indikasi TPPU terjadi di Kemenkeu, belum terjawab.
Karena bisa saja di dalam Rp 22 triliun itu transaksi janggal yang terjadi di kementerian lain atau lembaga lain karena dalam konferensi pers tak dipaparkan detailnya.
Sri Mulyani memastikan, pihaknya telah melakukan penindakan, terhadap pegawai Kemenkeu yang terbukti melanggar hukum. Seperti kasus pencucian uang dan korupsi pegawai pajak golongan III A, Gayus Halomoan Partahanan Tambunan.
"Dulu disebutkan Gayus itu jumlahya Rp 1,9 triliun sudah dipenjara. Saudara Angin Prayitno, itu disebutkan transaksinya Rp 14,8 triliun, itu juga sudah dipenjara," ujar perempuan kelahiran 26 Agustus 1962 itu.
Ia memaparkan terkait temuan PPATK yang melibatkan badan usaha atau perorangan non-pegawai Kemenkeu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menindaklanjuti 17 kasus TPPU. Tindakan ini menghasilkan penerimaan negara Rp 7,88 triliun.
Selain itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menindaklanjuti 8 kasus yang memberi pemasukan negara Rp 1,1 triliun.(*)