KETIK, MALANG – Kampung Kayutangan Heritage dulunya adalah perkampungan kecil yang berada di tepi hutan bernama Hutan Patangtangan. Perkampungan tersebut semula bernama Kampung Talun yang sudah ada jauh sebelum Koridor Kayutangan dibangun.
“Pada akhir masa Kerajaan Kadiri, kampung ini sudah ada. Nama Talun sudah disebut-sebut dalam Prasasti Ukir Negara atau Prasasti Marinci I yang berangka tahun 1198,” ujar Dwi Cahyono, seorang sejarawan dan akademisi.
Dalam prasasti disebutkan citraleka atau orang yang mendapat titah menulis maklumat raja di prasasti adalah orang yang berasal dari Desa Talun. Hal ini menunjukkan keberadaan Desa Talun di tepi Hutan Patangtangan sejak tahun 1198.
“Kata Talun itu istilah Jawa Kuno, artinya kebun baru yang berada di tepian hutan. Di kampung itu ada kebun baru yang lokasinya di tepi hutan, mereka berkebun dengan membuka lahan di pinggiran Hutan Patangtangan,” lanjut Dwi.
Butuh waktu lama untuk Kampung Talun dapat berkembang dan beralih nama menjadi Kampung Kayutangan Heritage seperti sekarang. Hal ini masih berkaitan dengan pembabatan Hutan Patangtangan pada masa pendudukan Belanda ke Kota Malang.
Dikisahkan dalam kitab sastra berbentuk gancaran, yakni Kitab Pararaton. Menceritakan petualangan Ken Arok tatkala menjadi target operasi Tunggul Ametung selaku akuwu wilayah Tumapel di bawah Kerajaan Kadiri tahun 1100 akhir menjelang tahun 1200.
“Ken Arok berusaha menghindar dengan berpindah lokasi dari desa satu ke desa lain. Di antara tempat Angrok (sebutan lain dari Ken Arok) melakukan persembunyiannya, adalah di dalam hutan. Di Kitab Pararaton, hutan tersebut bernama Patangtangan,” Dwi menceritakan.
Patangtangan sendiri sebenarnya merupakan repetisi kata dasar 'tangan' yang mendapatkan imbuhan 'pa' dan 'an' atau pa-tangan-tangan-an dan dipersingkat menjadi Patangtangan. Di dalam hutan ini terdapat pohon tangan yang memiliki daun berbentuk jari-jari tangan.
“Pohon ini banyak tumbuh di area hutan yang ada di seberang selatan aliran Brantas, membentang timur-barat mulai dari selatan Jembatan RSUD ke selatan. Nah, Koridor Kayutangan menurut Kitab Pararaton, semula adalah area Hutan Patangtangan,” lanjutnya.
Dalam perkembangannya, terlebih pada masa Belanda menduduki Malang, perlahan hutan tersebut beralih fungsi menjadi area pertokoan.
Dosen Sejarah Universitas Negeri Malang (UM) itu menjelaskan Hutan Patangtangan dan Kampung Talun adalah kawasan yang terisolir sebab aksesnya terputus oleh Sungai Brantas. Kayutangan juga diampit oleh dua aliran sungai, Sungai Brantas di sebelah timur, dan sebelah barat oleh Kali Sukun.
Jalan yang dikenal sebagai Koridor Kayutangan semula hanya jalan setapak tepian hutan dan tidak terlalu lebar. Pada 1767 hingga awal 1800, Belanda hanya berani membangun hunian di area benteng yang saat ini menjadi RSUD, sebab perlawanan terhadap Belanda masih kuat di Malang.
“Mulai 1800 awal, Belanda berani membuat rumah di luar benteng, akhirnya isolasi terbuka dan dibangun jembatan kayu yang cukup besar untuk dilewati kereta seperti cikar atau dokar. Dari situ dirintis jalan ke arah selatan, dan dibangun alun-alun pada 1822,” lanjutnya.
Jalan setapak kemudian diperlebar dan diperkuat, tersambung dengan jalanan Koridor Celaket yang sudah ada lebih dahulu. Hadirnya alun-alun turut membuat Koridor Kayutangan menjadi semakin ramai, juga ketika Belanda membuka perumahan di tiga blok yakni Kauman, Tongan, dan Sawahan.
Berkembanglah Koridor Kayutangan pada akhir 1800an dengan diisi oleh banyak bangunan. Memasuki tahun 1900an, bangunan sudah mulai rapat dengan perkantoran swasta, pertokoan, tempat makan dan terdapat kantor usaha dagang yang sekarang popular dengan nama Rajabally, milik orang Pakistan.
“Dulu perempatannya belum ada, baru ada di tahun 1920 ketika dibangun poros baru yang menghubungkan antara stasiun sampai Museum Brawijaya,” lanjutnya.
Meskipun sempat dilakukan pembumihangusan oleh para gerilyawan, namun perkembangan koridor juga memberikan dampak kepada warga lokal yang tinggal di Kampung Talun.
“Di beberapa tempat penting yang dulu kantor, bangunan milik Belanda dibakar oleh gerilyawan Indonesia supaya tidak diambil alih oleh Belanda, seperti kantor telepon,” ungkap Dwi Cahyono.
Jika mengacu pada kehadiran Hutan Patangtangan yang sudah ada sejak tahun 1100an, membutuhkan waktu lebih dari 800 tahun bagi Kayutangan dapag berbenah diri. Kini wilayah tersebut menjadi salah satu pusat keramaian di Kota Malang.(*)