KETIK, PALEMBANG – Ancaman dana cadangan subsidi haji atau nilai manfaat yang mulai menipis membuat Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) harus memutar otak lebih keras.
Sampai saat ini, BPKH tengah mendesain skema pengelolaan dana haji yang berkutat pada proporsi saldo virtual account dalam pembayaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH).
BPIH sendiri merupakan komponen biaya ibadah haji yang terdiri dari biaya perjalanan ibadah haji (Bipih), atau biaya yang dibayarkan jemaah, ditambah nilai manfaat atau subsidi dari hasil pengembangan keuangan haji yang dilakukan melalui penempatan dan investasi oleh BPKH.
Sejak didirikan pada tahun 2017, BPKH telah melakukan perubahan skema mengenai nilai BPIH dan besaran persentase antara Bipih dan nilai manfaat.
Hal itu dipaparkan oleh Anggota Badan Pelaksana BPKH, Acep Riana Jayaprawira. Sembari menunggu revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014, pihaknya terus melakukan upaya untuk mencegah dana subsidi haji terkuras habis.
Salah satunya adalah dengan cara mengurangi subsidi dan memperbesar Bipih atau biaya yang dibayarkan oleh jemaah haji.
Seperti contohnya pada tahun 2022 di mana BPKH telah menetapkan nilai BPIH sebesar Rp81.747.844,04 per jemaah. Bipih yang dibayarkan jemaah rata-rata Rp39.886.009 (48,7%) per orang, dan sisanya (51,3%) ditutupi dengan nilai manfaat.
Kemudian, pada haji 2023 BPIH ditetapkan pada angka Rp90.050.637,26 dengan Bipih yang harus dibayar jemaah sebesar Rp49.812.711,12 (55,3%) dan sisanya (44,7%) ditutupi oleh subsidi atau nilai manfaat.
Kini, BPKH tengah berupaya memperpanjang umur dana subsidi haji dengan memberikan saran kepada pemerintah mengenai besaran persentase Bipih dan nilai manfaat.
“Pada musim haji 2024, persentase antara Bipih dan nilai manfaat sudah berada di angka 60 (Bipih) banding 40 (nilai manfaat). Nah kami berharap tahun selanjutnya bisa berubah lagi menjadi 65:35. Idealnya sih bisa mencapai 70:30, tapi itu keputusannya ada di pemerintah,” ungkap Acep, Kamis, 12 September 2024.
Mengenai dana subsidi haji yang tersisa, Acep memaparkan bahwa dana tersebut diperkirakan masih cukup untuk menyuplai kebutuhan nilai manfaat sampai lima tahun ke depan.
Acep menambahkan, hal tersebut bergantung pada kurs mata uang Rupiah dan Riyal Arab Saudi terhadap Dolar AS. Apabila kurs mata uang Rupiah menguat, dana subsidi haji yang tersisa bisa bertahan lebih lama.
“Saya tidak berani memastikan betul, ya, tapi itu (subsidi) mungkin (bertahan) lebih dari 5 tahun. Kalau dari perhitungan 50:50 itu habis tahun 2027, tapi kini kita kan sudah 60:40 jadi lebih lama. Kemudian ini juga bergantung pada berapa BPIH nya, kalau kita bisa bekerjasama untuk lebih efisien ya lebih murah,” terang dia.
Sebelumnya, dalam diskusi yang digelar pada Media Gathering Bersama BPKH, Acep memaparkan salah satu permasalahan yang dihadapi BPKH saat ini.
Salah satunya adalah terkait Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Menurut Acep, Undang-Undang tersebut belum mencantumkan isu-isu terkini yang mereka hadapi, seperti keterbatasan instrument penempatan dan investasi yang sesuai prinsip syariah.
Ditambah, dalam Undang-Undang tersebut juga belum mengatur tentang mitigasi risiko dan pencadangan kerugian yang berpotensi bisa terjadi sewaktu-waktu.
“Kita sebetulnya tidak ada kendala yang merugikan, akan tetapi pergerakan BPKH saat ini belum begitu lincah karena Undang-Undang yang mengatur sendiri cukup ketat,” jelas Acep.
Dalam hal ini, Acep menerangkan bahwa rancangan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 sudah disampaikan BPKH kepada badan legislatif atau DPR. Namun, pembahasan dan realisasi revisi Undang-Undang tersebut belum bisa dilakukan secepatnya.
Dia berharap, rancangan revisi Undang-Undang tersebut bisa segera direalisasikan agar BPKH bisa bergerak lebih lincah dalam mengatur keuangan haji Indonesia.(*)