KETIK, JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menekankan kembali pentingnya Indonesia membentuk matra ke-IV Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan menghadirkan Angkatan Siber (AS).
Yakni memperkuat tiga matra yang sudah ada, yakni Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU).
Itu mengingat posisi Geopolitik Indonesia sangat rawan. Berhadapan langsung dengan trisula negara persemakmuran Inggris Malaysia, Singapura, dan Australia, yang tergabung dalam five power defence arragement (FFDA) bersama Selandia Baru dan Britania Raya. Serta berada dalam arena pertarungan geopolitik Rusia, China, dan Amerika.
"Terlebih dunia sudah memasuki era internet of military things/internet of battle-field things, dimana operasi militer semakin dapat dikendalikan dari jarak sangat jauh dengan lebih cepat, tepat, dan akurat," ucapnya.
"Ini sekaligus meningkatkan fungsi perangkat militer menjadi lebih efektif dan optimal, sebagaimana terlihat dalam perang Rusia-Ukraina, maupun perang Palestina-Israel," tambah Bamsoet dalam Kuliah Umum Program Pendidikan Reguler (PPRA) Angkatan 66 dan 67 Tahun 2024 Lemhannas RI, di Auditorium Lemhannas RI, Jakarta, Selasa (30/7/2024).
Hadir antara lain, Ketua Umum Yayasan Pembela Tanah Air Pusat (YAPETA) Tinton Soeprapto, Dewan Pengawas YAPETA sekaligus KSAD ke-25 Jenderal TNI (Purn) Agustadi Sasongko Purnomo, Deputi Pendidikan Lemhannas Marsekal Muda TNI Andi Heru dan Direktur Operasional Lemhannas Brigjen TNI Jainudin.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, internet of military things juga menunjukan bahwa dunia semakin larut menghadapi perang generasi V (G-V) Siber dengan center of gravity pada data dan informasi.
Menghadapi G-V, Singapura, Jerman, dan Tiongkok merupakan contoh negara yang telah membentuk angkatan siber sebagai matra tersendiri. Pasukan Siber Tiongkok diprediksi yang terbesar di dunia, mencapai 145 ribu personil.
"Jika tidak segera diantisipasi, dampak yang dihasilkan dari perang G-V bisa lebih dahsyat dibandingkan empat perang lainnya. Dengan kekuatan siber yang dikendalikan dari jauh, sebuah negara bisa melumpuhkan objek vital negara lainnya seperti pembangkit listrik, cadangan minyak, hingga operasional Alutsista Militer," jelasnya lagi.
"Melalui serangan siber, sebuah negara bisa membuat jaringan telekomunikasi dan internet di negara lain mati total, digital perbankan kacau, radar militer maupun penerbangan sipil tidak bisa digunakan," tambah Bamsoet panjang lebar.
Ia menerangkan, bahkan lebih mengerikan, alat tempur seperti pesawat dan kapal selam diremote dari luar negeri untuk melakukan serangan seperti melempar bom tanpa bisa dikendalikan oleh kita.
Hal seperti itu bisa saja terjadi. Saat ini saja, jika kita melaporkan kehilangan handphone, dari kantor pusat bisa langsung didestruct sehingga si pencuri tidak bisa menggunakan.
"Karena itu, ke depan saat membeli alat tempur atau sarana prasarana critical infrastructure dari luar negeri, beberapa codingnya harus diganti oleh angkatan siber. Sehingga pabrikan asalnya tidak lagi punya kendali penuh. Hal ini untuk meminimalisir anasir jahat dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab," pungkas Bamsoet. (*)