Sejak zaman perjuangan kemerdekaan, profesi dokter dan tenaga kesehatan adalah ujung tombak bersama para anggota masyarakat dan tentara. Seluruhnya adalah agen perubahan yang mewujudkan kemerdekaan di tanah air ini.
Dokter dan tenaga kesehatan berada di garis-garis terdepan untuk menyelamatkan tentara dan masyarakat yang terluka, mengupayakan agar tidak terlalu banyak hilang nyawa. Begitupun masyarakat dan tentara yang bahu membahu mengusir para penjajah. Tanpa keberadaan salah satunya, cita-cita ini hanya akan jadi omong kosong belaka dan entah kapan negara ini akan berdiri.
Di era globalisasi ini, penjajahan masih mengintai dan merasuk ke dalam lini kehidupan masyarakat yang merdeka. Politik adu domba dipraktekkan secara terang benderang, dengan menghembuskan isu-isu ketidakpercayaan.
Globalisasi dan teknologi telah menancapkan dampak negatifnya, yaitu persebaran fitnah yang tak terkendali. Semua saling menuding siapa yang salah, atau bertahan dalam kesalahan yang sebenarnya bisa berubah sesuai zaman. Komunikasi seolah mengalami jalan buntu karena memang masing-masing pihak telah termakan isu.
Dokter dan organisasi profesi IDI menjadi salah satu korban globalisasi dan politik adu domba. Sesama sejawat saling merasa tak puas dan mendirikan organisasi tandingan, lantas menghembuskan tuduhan monopoli. Padahal, belum pernah ada satu kejadianpun di dunia ketika lebih dari satu organisasi profesi kesehatan bersaing dalam satu negara.
Seharusnya hal ini bisa menjadi pemahaman pihak-pihak yang bertikai, bahwa persaingan tidak sehat dari para petugas kesehatan itu tidak seharusnya terjadi karena mereka adalah para intelektual pengemban harapan di negeri ini.
Dengan pertikaian yang ada ini, baik disadari maupun tidak, diakui maupun disembunyikan, posisi salah satu agen perubahan kini berada di ujung tanduk dan rentan terseret arus kekacauan. Setiap pertikaian menciptakan celah dalam soliditas perkumpulan apapun, dan celah tersebut dapat menjadi kesempatan untuk memperkeruh masalah dan/atau menciptakan masalah baru untuk mendiskriminasi. Pertikaian pada tubuh organisasi akan terendus oleh media yang bisa saja sengaja diperalat oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk merusak keutuhan organisasi maupun negara ini.
Masyarakat yang cenderung mudah terpolarisasi dan terprovokasi karena berasal dari pelbagai tingkat intelektual dan literasi secara tidak sadar tercebur dalam praktek adu domba, menjadi yang diadu maupun yang mengadu. Lagi-lagi keadaan serupa di zaman penjajahan VOC terulang di masa ini dengan mudahnya.
Sayangya, sebaran informasi yang luas dan cepat bukannya memberikan kita keuntungan dalam memilah yang baik dari yang tidak baik, tetapi malah membuat kita begitu mudah menjatuhkan penghakiman terhadap sesama anak bangsa yang akhirnya malah menimbulkan keributan dan jurang pemisah yang semakin lebar.
Siapa yang akan tertawa di saat seperti ini? Mereka lah para penjajah berkedok rupawan, bertutur santun dan seolah menawarkan bantuan. Di balik kesantunan dan limpahan harta, mereka menyisipkan aturan yang secara sepihak menguntungkan.
Mereka menjajah bukan dari luar dan dengan mengangkat senjata, namun menyusup dalam celah perdebatan. Mereka seolah memberikan masukan-masukan untuk pengembangan yang lebih baik, namun sejatinya merugikan lagi mengacaukan.
Perubahan aturan yang terangkum di dalam RUU Omnibus Law terkait dunia kesehatan adalah salah satu wujud kekacauan yang akan merugikan, bukan hanya para dokter dan tenaga kesehatan namun juga masyarakat.
Memang, isi dari RUU Omnibus Law Kesehatan ini seolah condong ke masyarakat atau para dokter sebagai praktisi. Sebut saja penyederhanaan izin STR dan SIP yang tidak lagi memerlukan rekomendasi organisasi profesi, yang di sini merujuk kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Hal ini tentu sangat menggiurkan bagi para praktisi kesehatan yang mungkin merasa terbebani dengan persyaratan untuk memenuhi rekomendasi IDI tersebut. Namun, jika dilihat pada pasal lain di Omnibus Law tersebut, disebutkan bahwa dokter yang melakukan kesalahan dalam praktiknya akan bertanggung jawab secara mandiri, dan bila tidak memiliki STR/SIP bisa mendapatkan denda tiga kali lipat dari denda yang ditentukan di dalam undang-undang sebelumnya.
Ini berarti pada dasarnya dokter akan dirugikan atas rancangan undang-undang tersebut dan bisa saja terkena kasus pidana tanpa ada organisasi yang akan dapat mendampinginya selama proses hukum.
Penghapusan rekomendasi IDI tersebut sebenarnya juga akan sangat merugikan masyarakat mengingat IDI sendiri merupakan suatu institusi tritunggal dengan KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) dan MKEK (Majlis Kode Etik Kedokteran). KKI adalah persatuan dari kedokteran berbagai bidang yang menggariskan standard kelulusan bagi para dokter yang berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu.
Sementara MKEK merupakan pengontrol dari tindak tanduk dan sepak terjang para dokter dalam menjalankan praktek pelayanan kesehatan di masyarakat. IDI memberikan rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan berdasarkan hasil observasi bersama kedua institusi tersebut.
Dengan menghapuskan rekomendasi dari IDI berarti sama dengan menafikan peranan KKI dan MKEK dalam menghasilkan dokter-dokter siap kerja yang berkualitas, beretika dan bermoral. Ketika STR/SIP diberikan secara mudah dan serampangan, maka dokter-dokter yang berkenaan dengan masyarakat nantinya akan cenderung abai terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang penting dalam pelayanan kesehatan di masyarakat, sehingga masyarakat tentu akan menjadi korban dan menimbulkan permasalahan yang lebih besar.
Permasalahan ini bisa berkembang menjadi ketidakpercayaan lebih lanjut pada kualitas pelayanan kesehatan dalam negeri, sehingga masyarakat akan semakin sulit menjalankan hidup sehat, atau bagi yang memiliki dana berlebih, mereka akan kembali menambah devisa negara asing dengan berobat ke sana.
Yang paling mengkhawatirkan tentunya bila kapitalisme sampai merambah dalam praktek pelayanan kesehatan. Rumah Sakit-Rumah Sakit akan menjadi milik para kapitalis yang hanya memfokuskan keuntungan semata, alih-alih pada kesehatan masyarakat dan kemanusiaan.
*) Kolonel Laut (K) Dr. dr. Hisnindarsyah, SpKL. Subsp.KT(K) , SE., M.Kes., MH., C.FEM adalah Dokter Spesialis, Tim Kelompok Ahli (PokLi) RSPAL Dr. Ramelan, Surabaya, Kolumnis, Pengajar
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id. Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
Panjang naskah maksimal 800 kata
Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
Hak muat redaksi