KETIK, SURABAYA – Setelah UGM, UII, UI sekarang giliaran civitas akademika dari Universitas Airlangga (Unair) yang melayangkan kritik terhadap penegakan demokrasi di Indonesia. Para mahasiswa, dosen dan guru besar turun gunung menyerukan seruan moral dan keprihatinan atas situasi negara saat ini.
Petisi yang dibacakan di bacakan di halaman Pasca Sarjana Unair itu dihadiri para dosen, guru besar, mahasiswa dan alumni dari berbagai fakultas.
Guru Besar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Prof Hotman Siahaan didaulat membacakan penyataan sikap yang disusun sejumlah civitas.
"Hal yang perlu diingat kembali oleh Presiden bahwa legitimasi maupun dukungan rakyat kepada pemerintahannya semenjak sembilan tahun lalu tidak bisa dilepaskan dari harapan bahwa Presiden akan menjalankan etika republik
dan merawat demokrasi maupun pemerintahan yang bebas KKN," paparnya, Senin (05/02/2024).
Sementara itu, kata Hotman, publik kini sedang
menyaksikan berbagai fenomena yang melenceng dari prinsip-prinsip republik. Hal itu tengah berlangsung dalam beberapa waktu terakhir demi kepentingan personal kekuasaan.
"Mulai dari upaya untuk memanfaatkan MK untuk mengubah aturan syarat mendaftar capres - cawapres sebagai celah hukum yang memberi jalan kepada Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres," ucapnya.
"Kemudian indikasi penggunaan fasilitas negara maupun aparat negara demi kepentingan politik partisan elektoral, sampai ketidaktegasan kepemimpinan pemerintah untuk menunjukkan netralitas dalam ucapan dan tindakan dalam
Pilpres 2024, yang memiliki kecenderungan
membela paslon tertentu yang memiliki
hubungan kekeluargaan," tambah Hotman.
Hal ini menunjukkan ketidakadaan teladan etis republik yang seharusnya dicontohkan oleh pemimpin negeri ini.
Hotman berharap saat akan mengakhiri pemerintahannya, Presiden Joko Widodo bisa mengambil sikap yang tidak menodai prinsip-prinsip utama tersebut.
Selain itu, mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik Unair ini juga menyerukan Presiden selaku pemimpin tertinggi pemerintahan dan kepala negara, agar merawat prinsip-prinsip etika republik dengan tidak menyalahgunakan kekuasaan serta menghentikan upaya melanggengkan politik kekeluargaan.
Untuk itu, langkah selanjutnya, Hotman menyebut kampus hanya memberikan seruan moral.
Ingatkan Kasus Penculikan Aktivis Belum Terungkap
Hotman menegaskan, petisi ini bukan sebagai tindakan politik praktis karena seruan moral ini sebagai bingkai moralitas bangsa untuk menjalankan demokrasi.
"Dan untuk Unair, kami telah punya dua orang martir yang belum ketemu mayatnya, Herman dan Bimo Petrus, semua alumni FISIP Unair dan Universitas Airlangga pada umumnya, mengetahui hal itu. Tetapi kami melihat isu tentang itu tidak berkembang. Karena itu kami mengingatkan kepada masyarakat Indonesia, bahwa kami di kampus ini pernah mengalami kekerasan oleh penguasa pada saat itu," jelasnya.
Prof Hotman juga menekankan penyampaian sikap ini tidak atas nama institusi. Melainkan atas nama pribadi yang merasa terpanggil melihat situasi di negara ini.
"Kalau institusi tidak mengakui, atas nama kampus tidak mengakui, tidak masalah. Karena kalau atas nama institusi harus ada prosedur, harus ada lembaga, kami tidak menggunakan itu. Ini adalah individu-individu keluarga besar Universitas Airlangga, baik yang masih ada, maupun alumni, maupun yang mereka teman-teman yang merasa terpanggil untuk kegiatan ini," pungkasnya. (*)