KETIK, SURABAYA – Asprov PSSI Jatim terus melakukan terobosan untuk meningkatkan sepak bola di Jawa Timur. Hal ini diungkapkan Ketua Asprov PSSI Jawa Timur, Ahmad Riyadh dalam Kongres Biasa PSSI Jatim di Sheraton, Surabaya, Rabu (17/7/2024).
“Kami berharap ada terobosan dan hal-hal baru. Artinya, Asprov Jatim harus memiliki terobosan untuk mempercepat pengembangan sepak bola, khususnya di Jatim. Hasilnya, sudah dibukukan,” ujar Riyadh.
Hal ini langsung disambut baik Wakil Ketua Umum PSSI Ratu Tisha. Dia menyatakan jika bicara soal PSSI ada empat hal, tapi paling mendasar adalah football development, kompetisi, organisasi, aktivitas komersial dan lain-lain.
“Pertama tentang development, PSSI Jatim sudah punya plan. Kami dari PSSI Pusat pasti akan membantu dengan lebih detail lagi, karena beberapa hal-hal yang ingin kami coba di PSSI Pusat, mungkin ingin kita uji coba di Jawa Timur," ucap Tisha.
"Seperti halnya perubahan struktur kepelatihan agar bisa meningkatkan jumlah pelatih lebih banyak, sistem dan struktur di perwasitan agar rekrutmen C3-nya lebih banyak juga, untuk mendapatkan wasit lebih banyak,” papar Tisha lagi.
Kedua, lanjut Tisha, PSSI Pusat menilai secara organisasi juga dipimpin dengan sangat baik karena PSSI Jatim juga menjalankan statuta dengan baik. Misalnya, klub anggota Asprov yang tidak mengikuti diberi peringatan, bahkan ada satu pencoretan anggota karena tidak aktif berkompetisi tiga musim berturut-turut.
“Saya rasa ini, hal-hal yang sifatnya organisasi dan ketegasan dari Asprov PSSI Jatim ini perlu dicontoh dan dihargai oleh semua pihak agar keseluruhan dari masyarakatnya (anggota Asprov PSSI Jatim) juga bisa tertib. Sebab sepak bola ini memang olahraga yang terorganisir dengan baik,” tutur Tisha.
Berikutnya, di area kompetisi, menurut Tisha ada terobosan terkait beberapa hal seperti kompetisi yang menyertakan SSB yang terafiliasi. “Kita kasih PR juga bahwa jumlah SSB yang terafiliasi harus ditingkatkan kalau memang adanya baru segitu, maka SSB yang ada dibimbing untuk terafiliasi dengan PSSI sesuai dengan standar-standar ada. Standarnya telah mereka tentukan sendiri, yakni terdiri dari lima standarnya,” paparnya.
Ia menilai, konten dari standar yang telah ditentukan sudah sangat baik dan telah disetujui oleh seluruh anggota. Tisha pun berharap, setahun ke depan akan bisa dilihat prestasi dan hasilnya.
“Mudah-mudahan dari sini bisa memberikan ide-ide baru bagi PSSI Pusat juga. Jadi apa yang tidak bisa dilakukan secara langsung dalam skala yang lebih besar, Asprov PSSI Jatim bisa melakukan di skala provinsi. Mungkin itu bisa jadi perubahan dan terobosannya lebih cepat. Kalau bisa lebih cepat, PSSI pun bisa meng-copy-nya ke Asprov yang lain,” ungkap Tisha.
Tisha mengakui, banyak program-program PSSI Pusat yang bisa diimplementasikan dengan baik oleh Asprov PSSI Jatim. Sehingga tak sedikit program yang digagas induk organisasi sepak bola Indonesia itu yang berhasil dijalankan dengan baik oleh Asprov PSSI Jatim.
Kendati begitu, kata Tisha, PSSI tak bisa memaksakan program yang telah berhasil dilakukan PSSI Jatim ke provinsi lain. Pasalnya, setiap Asprov memiliki plus minus.
“Yang pertama, saya harus note, bahwa mempertahankan juara itu lebih sulit daripada merebut. Jadi, kalian (Asprov PSSI Jatim) harus hati-hati. Misalnya, Asprov PSSI Jabar yang Liga 3-nya berputar dua divisi. Mereka juga punya sistem standarisasi untuk registrasi pemain di usia 9 dan 10 tahun. Launching mereka untuk player card registrasi,” jelasnya.
“Ada satu sisi di area yang lain Asprov A lebih dulu, ada satu sisi di area yang lain Asprov B lebih dulu. Nah, bagaimana sinergi ini tercipta dan menjadi satu best practice yang baik akan kita note. Tapi kita gak boleh berdiam diri atau terlena. Jadi meski Jatim dalam hal apa pun menjadi yang terbanyak, tapi jangan terlena,” tambah Tisha.
Tisha mengungkapkan, terobosan-terobosan ini di atas standar minimal yang diberlakukan merata di semua Asprov. Ia mencontohkan adanya kompetisi yang mandatory, development mandatory, organisasi mandatory. Ini merupakan standar minimum yang diberlakukan kepada seluruh Asprov di Indonesia.
Soal apakah semua Asprov itu bisa melampaui standar minimum tergantung pada masing-masing. Contohnya di Bangkabelitung, kompetisi perempuan mereka lebih banyak berputar dibanding provinsi lain. Contoh lagi di NTT, mereka provinsi kepulauan, sehingga tidak mungkin mereka memiliki dua divisi seperti di Jabar. Jadi ada kekurangan dan kelebihan masing-masing.
"Tapi standar minimum sudah kita terapkan. Makanya subsidi 500 juta itu untuk menyubsidi yang standar minimumnya,” terang Tisha. (*)