KETIK, SURABAYA – Ada yang unik di SDN Durungbanjar Candi Sidoajo. Di dinding setiap kelasnya terdapat 3 sampai 4 poster dengan warna yang berbeda, namun memiliki satu tema yaitu kesetaraan gender.
Media poster dipilih sebagai salah satu usaha mewujudkan Sekolah Responsif Gender (SRG).
Dijelaskan oleh Eva Nur Diana, guru kelas V sebagai wakil kelas tinggi dan Peni Febria Nurikasari, guru kelas III sebagai wakil kelas rendah mewakili SDN Durungbanjar dalam menjalani pelatihan SRG yang diadakan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) dan Inovasi Jatim.
Menurut mereka segera setelah pelatihan berakhir mereka berusaha menerapkan materi yang didapat di sekolah.
"Alasan memilih poster karena guru menganggap media ini mudah mencuri perhatian siswa, gambar dan tulisan atraktif bisa membuat anak didik dengan cepat melihatnya," papar Eva.
Mulanya murid bertanya-tanya tentang makna poster. Saat itulah guru hadir memberikan penjelasan.
"Cara ini dianggap efektif karena dimulai dari rasa keingintahuan siswa terlebih dulu. Apalagi dalam pemasangan poster, guru juga melibatkan siswa, sehingga memunculkan rasa ikut memiliki," jelas Eva.
Menurut Eva, guru tidak hanya membuat media poster untuk mendukung pembelajaran yang mengacu responsif gender.
Tapi guru juga membangun organisasi kelas yang responsif gender. Sebelum mengikuti SRG, hampir semua tugas yang terkait dengan kepemimpinan pasti dipercayakan kepada anak didik laki-laki.
"Dari petugas pemimpin upacara, ketua kelas, ketua kelompok, hingga pemimpin kegiatan baris pasti anak laki-laki. Sementara anak didik perempuan umumnya akan menjabat sebagai sekretaris atau bendahara," terang Eva.
Menurut Peni, guru meyakini jika anak laki-laki memiliki kelebihan dalam hal ketangkasan, kekuatan, dan kecerdasan motorik.
Sementara anak perempuan dianggap memiliki kelebihan di bidang akademis. Hal itu berpengaruh pada jalannya pembelajaran. Setiap ada tugas presentasi yang diminta bicara anak perempuan.
"Setelah mengikuti pelatihan SRG, pemahaman seperti itu diubah total. Dikoordinasi kepala sekolah, guru diminta untuk memberikan kesempatan yang sama kepada anak didik laki-laki maupun perempuan dalam hal apapun di sekolah. Pembentukan kelompok di kelas selalu dibuat heterogen," jelasnya.
Peni bercerita mulanya tidak mudah mengumpulkan anak didik dalam kelompok yang heterogen.
Perasaan malu dan belum terbiasa menjadi hambatan tersendiri. Namun hal itu tak berlangung lama. Setiap Hari Guru selalu menanamkan konsep keseteraan gender pada peserta didik.
"Mereka diajari untuk saling menghargai dan memiliki kepedulian sosial," paparnya.
Mengenai konsep responsif gender, Eva menjelaskan juga dimasukkan dalam semua Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Di kelas V, untuk memudahkan anak didik menghafal, guru kerap membuat singkatan yang menarik ketika menjelaskan materi.
"Misalnya ketika membahas kekayaan budaya Indonesia, guru membuat singkatan Parutan yang kepanjangannya adalah Pakaian adat, Rumah adat, dan Tarian tradisional," jelasnya.
Supaya proses pengenalan menarik guru membuat media peta Indonesia yang ditempelkan di stereofoam. Masing-masing gambar Parutan di tempel di lidi. Siswa diminta untuk memasangkan gambar Parutan itu di propinsi yang sesuai.
Di bagian tarian tradisional guru tak lupa memasukkan responsif gender ketika menjelaskan jika kegiatan itu tak hanya dilakukan oleh perempuan karena laki-laki juga sangat diperbolehkan untuk menari.
Tak hanya diberi penjelasan di akhir semester, dua siswa juga menampilkan tarian Kancet Papatai dari Kalimantan Timur di kelas.
"Tarian itu dilakukan oleh siswa laki-laki dan perempuan. Lewat tarian itu peserta didik tidak hanya paham tapi juga langsung mempraktekkan kalau kegiatan tersebut dapat dilakukan siapa saja," papar Eva.
Setahun lebih menerapkan perubahan metode pembelajaran yang mengacu SRG, guru mencatat peningkatan hasil belajar peserta didik terutama pada peserta didik perempuan.
Hal itu terlihat dari berkurangnya jumlah siswa yang mendapat nilai di bawah di Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
"Guru juga melihat anak didik sekarang dapat saling menghargai dan bersosial dengan baik. Mereka juga lebih mudah menerima materi. Peserta didik juga senang dan dapat bergaul tanpa memandang gender," tutup Eva guru kelas V sebagai wakil kelas tinggi.(*)